Kategori

2019/01/30

Resensi Novel Larasati

Kartini Menawan di Tengah Revolusi

www.google.com

Larasati
Pramoedya Ananta Toer
Copyright Pramoedya Ananta Toer 2003
All rights reserved

Diterbitkan dan diluaskan oleh
Lentera Dipantara
Multi Karya II/26 Utan Kayu, Jawa Timur, Indonesia 13120
ISBN: 979-97312-9-5
Terdiri dari 180 halaman
           


Pramoedya Ananta Toer lahir pada tahun 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara – sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, pulau Nusa-kambangan Juli 1969-12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI tetapi masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan Negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, diantaranya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

            Buku ini bercerita tentang seorang tokoh utama yang bernama Larasati. Cerita ini mengambil tempat pada zaman revolusi 1945-1950 yang sangat menarik. Pramoedya Ananta Toer telah berhasil menggambarkan situasi dan kejadian-kejadian yang pada saat itu mengambil tempat. Dengan gaya bahasanya yang sering menggunakan istilah-istilah dari bahasa daerah (jawa, misalnya “klonyok”) akan sulit dimengerti oleh orang-orang yang tidak datang dari daerah tersebut. Pramoedya juga sering menggunakan istilah-istilah zaman penjajahan Kolonial Belanda seperti “NICA“ (Netherland-Indies  Civil Administration) dan “RVD“ (Regerings Voorlichting Dienst) yang bagusnya penerbit memberikan catatan kecil pada halaman tersebut. Penulisan dari buku ini masih menggunakan istilah-istilah bahasa Indonesia lama. Sayangnya dalam buku ini Pramoedya juga mengkritik dengan keras tentang seorang Indonesia yang bekerja untuk Belanda. Hanya saja kritikan itu terlalu keras sehingga keluar kata-kata kasar yang diucapkan oleh seorang Larasati.

            Adapun tokoh Larasati yang diceritakan sebagai bintang film Ara. Awalnya ia diceritkan ingin datang ke Jakarta untuk menemui ibu kandungnya. Larasati diceritakan sebagai tokoh yang berani, penuh semangat api revolusi, yakin dan percaya diri. Namun, entah mengapa ditengah alur cerita. Larasati berubah menjadi seorang yang sentimental. Penuh rasa. Sehingga menjadi tokoh utama yang lemah. Sebagai contoh mulai pada halaman 97. Pramoedya mulai menggambarkan sisi lembut Larasati secara perlahan dengan pemicu yang sedikit namun pasti. Dari situ kita dapat melihat Larasati yang pergi bertempur bersama 3 pemuda. Mereka pergi ke sebuah perempatan yang nantinya akan dilewati oleh konvoi tentara Belanda.Menyelinap lewat gorong-gorong got warga setempat. Mengendap, mengintip dan menunggu hingga konvoi itu datang. Lalu, mulai dari situ Larasati digoyahkan pilihannya. Pergi ke lapangan, bertempur bersama 3 pemuda. Dengan suara gemetar, ketika ia ditanya oleh si pemuda.  Dari situ kita dapat mengenal betul bahwa ada sisi halus dan takut yang muncul ketika Larasati harus berhadapan langsung − bertempur demi revolusi. Namun setelah pertempuran itu berakhir. Mulai lagi muncul sisi berani dan tangguh seorang bintang film Ara ini. Ia terlihat kuat. Ketika ia ditawarkan pertolongan pada luka granatnya. Ia juga terlihat berani. Ketika ia sedang diinterogasi oleh salah satu opsir tentara Belanda.

            Sejauh dari penulisan kebahasaan dan penokohan dari tokoh utama. Pramoedya berhasil menulis buku yang menjadikan seorang perempuan sebagai tokoh utama. Tidak mudah bagi seorang penulis novel untuk menulis cerita yang memiliki tokoh utama seorang perempuan. Terutama dengan cerita yang bertemakan revolusi.

            Nilai-nilai yang dapat dipetik dalam novel ini adalah keberanian dan semangatnya seorang Larasati ditengah pertempuran revolusi 1945-1950. Meski ia hanyalah seorang perempuan yang kental dengan seni. Ia tetap mau berjuang demi bangsanya melalui perang angkat senjata dan perang melalui jalan seninya. Pada saat itu, masa revolusi 1945-1950. Larasati, ia diceritak sebagai perempuan yang dapat mengharumkan nama bangsa melalui karyanya sebagai bintang film. Berkali-kali ia tampil dihadapan orang-orang besar dari Belanda. Menampilkan seni Indonesia yang membawanya menjadi dirinya seorang bintang film Ara. Ia tak pernah lelah. Ia tak pernah lupa. Ia lahir dimana; ditanah mana. Ia pun tak lupa pada siapa yang melahirkan dirinya.


            Buku Larasati. Dengan keindahan bahasanya dan ceritanya. Dapat dibaca oleh kalangan remaja 15 tahun keatas. Karena mengandung kata-kata kasar dan penggambaran kekerasa pada zaman revolusi. Demikian resensi saya terhadap novel ini.



*** Selamat Membaca ***

www.pixabay.com

3 komentar:

  1. Sangat menginspirasi ,cocok untuk dibaca karna ceritanya mengangkat seorang perempuan yang berani bertempur untuk Indonesia agar pandangan masyarakat Indonesia bisa berubah bahwa perempuan itu tidak lemah.

    BalasHapus