Kategori

2019/01/28

Cerpen Remaja

Kembali ke Basecamp.

www.pixabay.com

            “Basecampmu adalah rumahmu.” Sepenggal kata yang diucapkan belum lama ini kepadaku, mungkin sekitar seminggu yang lalu. Tapi aku yakin akan membekas di hatiku selamanya. Kata yang mengandung makna yang dalam, kata yang mengubah pandanganku mengenai rumah tempatku tinggal bersama keluargaku.Semua ini berawal dari ulahku, yang hanyut oleh emosi tanpa berpikir panjang.

            Aku memang sosok yang introvert, cuek, tidak ingin terikat peraturan, dan egois. Aku punya seorang adik, jujur saja Ia anak yang baik, menyenangkan, dan sering membantuku. Entah mengapa, aku membenci dia. Mungkin karena ayah dan ibu lebih memperhatikannya. Semenjak bapak sering dinas ke luar negeri dan ibu sibuk dengan para pasiennya, mereka seakan-akan menggantungkan nasib adikku ke aku. “Kak, adek dijaga ya, jangan dinakalin.” Kata-kata yang membuatku bosan, yang diulang-ulang tiap kali seperti kaset rusak. Awalnya tugasku ini terasa ringan, karena hanya sekali seminggu. Tapi, semenjak jam terbang ayah dan ibu naik, semua berubah. Aku seakan-akan jadi pelayan adikku sendiri di rumah. Belum lagi ditambah mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk,  ditambah lagi mencuci mobil. Mungkin aku bukan pelayan lagi. Aku sudah jadi babu.
 
www.pixabay.com
            Keadaan di rumah yang membuatku lelah berpengaruh pada kepribadianku di sekolah.Aku menjadi anak yang emosional dan pemalas.Hampir setiap teman yang mengajakku bicara kusemprot dengan kata-kata pedas, seperti yang kulakukan ke adikku. Sejak aku emosional, makin banyak teman yang menjauhiku, nafsu belajarku pun menurun drastis bagaikan permainanflying-fox.Semakin banyak guru-guru yang membicarakanku karena prestasiku menurun.

Seiring berjalannya waktu, aku merasa hancur lebur. Aku merasa kesepian, tidak ada lagi yang bisa memahamiku dan aku merasa aku ingin membentuk kepribadianku yang baru. Perasaan inilah yang mendasari rencanaku kabur dari rumah. Keesokan harinya, tepat pukul lima, sebelum alarm handphone adikku berbunyi, aku bergegas meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan adikku. Untungnya, semua perlengkapanku sudah kusiapkan malam harinya. Jadi, aku bisa pergi lebih awal.

Pagi itu, aku berencana untuk tidak lagi kembali ke rumah, aku ingin merasakan hidup di jalanan. Tempat dimana aku bisa mencari pribadiku yang baru, teman-temanku yang baru. Matahari mulai menampakkan dirinya, aku pun bersemangat untuk memulai penjelajahanku hari itu. Sering kujumpai anak punk yang tidak karuan, dari yang seumuranku sampai yang lebih tua dariku. Mereka memang tidak sekolah, tapi aku heran mengapa mereka bisa sebahagia itu. Salah satu dari mereka bernama Ujang. Satu-satunya temanku di jalanan yang mau berteman denganku, karena yang lain menganggapku anak kecil. “Kalo gue bisa sekolah mah, gue mau. Sayang bapak gue gapunya duit, udah cerai pula. Habis itu, gue dibuang sama bapak gue. Makanya hidup gue berantakan. Tapi saya mah seneng-seneng aja, kadang dapet duit kadang minum-minumsama temen-temen. Elu yang masih untung, mending balik ke rumah dah, kaga ada guna di jalanan.” Itulah beberapa kata yang Ujang ucapkan kepadaku setelah aku menanyakan beberapa hal tentang dirinya. Sore harinya, aku pergi meninggalkan mereka, mencari tempat yang baru.
           
            Tak terasa hari sudah mulai gelap.Aku harus mencari tempat beristirahat. Setelah sekian jam, akhirnya aku melihat sebuah pos ronda yang sudah tidak dipakai lagi. Ketika aku masuk, aku terkejut melihat anak kecil yang meringkuk di pojok pos ronda sambil menangis. Namanya Supri. Sudah dua hari ini pengamen kecil ini tidak bisa berjalan.Tubuhnya menggigil karena demam. Kekagetanku bertambah setelah melihat lebam pipi sebelah kirinya. Ternyata, lebam itu akibat tonjokan “boss” nya yang tidak puas dengan perolehannya hari itu. Ia dianggap malas karena setorannya paling sedikit dibanding teman-temannya. Padahal, dengan kondisinya yang sakit, ia tidak bisa selincah teman-temannya menyelip di antara mobil-mobil yang berhenti saat lampu merah.

            Tiba-tiba aku teringat adikku. Aku bertanya-tanya dalam hati, bagaimana keadaannya. Apakah ia kesepian? Apakah ia sedih? Apakah ia merindukanku? Aku tersentak dari lamunanku ketika aku mendengar rintihan Supri. Aku segera beranjak menyusuri jalanan yang mulai lengang untuk membeli makanan dan obat untuk Supri. Dua hari sudah aku tinggal bersamanya. Merawatnya semampuku, sampai kondisinya membaik. Dan dia bisa mengamen kembali bersama teman-temannya.

            Penjelajahanku di jalanan masih berlanjut. Pada suatu malam, aku berhenti di sebuah rumah makan, duduk di terasnya bersama beberapa pengamen. Dari kejauhan,  nampak sebuah keluarga yang sedang menyantap makan malamnya. Pemandangan indah itu mengingatkanku akan keluargaku. Lamunanku kembali tersentak mendengar derap kaki orang berlari dan teriakan menuju ke arahku. Spontan, aku dan beberapa pengamen yang duduk bersamaku ikut berlari. Rupanya, malam itu sedang diadakan razia besar-besaran oleh Satpol PP. Kami berlari menyelamatkan diri. Salah satu dari mereka menarikku ke arah sebuah gerobak dagangan di jalan buntu yang ditinggalkan pemiliknya saat malam hari. Di tempat persembunyian itu, jantungku berdetak kencang seakan-akan aku bisa mendengar detakannya. Aku bahkan nyaris menahan nafasku ketika petugas Satpol PP mendekat. Aku tidak bisa membayangkan diriku bila jatuh ke tangan mereka. Aku tidak mau menderita di panti rehabilitasi bersama anak jalanan yang lain. Lama kelamaan, derap kaki para petugas sudah sayup terdengar, tanda bahwa mereka sudah menjauh dari tempat persembunyianku. Akhirnya aku bisa keluar dengan lega, aku berterima kasih kepada salah satu pengamen yang menyelamatkanku tadi. Aku bersyukur bisa selamat dari razia, namun entah mengapa tiba-tiba saja aku juga merasa sangat rapuh. Rapuh, kesepian, bimbang,  tanpa keberadaan orang-orang yang kukasihi.

Uang jajanku lama kelamaan habis. Aku kelaparan, tidak ada yang bisa kubeli. Tak terasa sudah satu minggu aku kabur dari rumah, aku sudah merasakan pahitnya hidup di jalanan. Aku ingin kembali ke rumah. Aku lalu bergegas menuju ke rumah. Di rumah aku disambut oleh kedua orangtuaku. Aku langsung dipeluk dan dicium. Mereka lega bisa melihatku masih dalam keadaan sehat dan utuh. Kemudian mereka bertanya mengapa aku kabur. Hampir satu jam lebih aku menjelaskan tentang alasanku dan apa sebenarnya yang ada di lubuk hatiku. Setelah mendengar penjelasanku, orangtuaku tidak memarahiku tetapi mereka justru memberi nasihat. Pada intinya aku perlu menjadi orang yang terbuka, peduli dengan orang lain seperti peduli pada adikku, peka terhadap keadaan sekitar seperti halnya aku harus mengerjakan pekerjaan rumah karena bapak atau ibu sibuk, dan sebagainya. Tapi ada satu nasihat yang tidak akan kulupakan, yaitu nasihat dari bapakku. “Jalanan itu bukan tempatmu membentuk kepribadian, apalagi mencari teman. Kamu anak yang dibesarkan dengan kasih sayang dan kecukupan. Kamu anak yang disekolahkan dengan baik, dan pastinya punya teman-teman yang peduli padamu. Dan ingat, tugas-tugasmu di rumah sengaja bapak dan ibu buat. Kami ingin mengubah kepribadianmu. Mungkin terlihat sepele semua pekerjaan rumahmu. Tapi ini adalah salah satu cara untuk menjadikanmu pribadi yang peduli dan bertanggungjawab. Basecampmu adalah rumahmu, tempat dimana kamu ditempa menjadi orang yang baik sebelum kamu terjun ke dunia nyata.” Mendengar nasihatnya, aku hanya bisa mengangguk-angguk dan merenung. Semoga aku bisa berproses dengan baik di basecampku ini.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar