Kategori

2018/04/12

Legenda Kota Pandeglang

Legenda Kota Pandeglang

sumber: pixabay.com

            Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa yang damai ada sebuah tradisi yang harus dijalani setiap tahunnya. Tradisi itu mengharuskan setiap warga desa untuk menyisihkan seperempat dari hasil panen mereka untuk di persembahkan kepada dewa mereka yang dipercaya selalu melindungi dan memberkahi desa itu.
            Namun, seiring berjalannya tahun dan generasi, perlahan tradisi tersebut mulai dilupakan. Sampai akhirnya hanya ada sebuah keluarga yang masih menjalankan tradisi tersebut. Hari panen pun tiba, keluarga itu membawa seperempat bagian dari hasil panen mereka dan mempersembahkannya ke kuil dewa tersebut. Pada saat mereka memanjatkan doa, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap dan terdengar suara gemuruh yang sangat nyaring.
            “Beginikah balas budi kalian atas apa yang telah kulakukan kepada kalian?!” Terdengar sebuah suara yang menggelegar dari langit, suara tersebut membuat keluarga yang sedang berdoa itu ketakutan. “M-maafkan kami, kami hanya mengikuti tradisi. Da-dan hanya inilah yang kami punya.Balas sang kepala dari keluarga tersebut dengan terbata, seketika itu angin yang kencang bertiup di sekeliling kuil tersebut.
            “Baiklah! Sesuai dengan perjanjian yang leluhur kalian telah buat, maka tidak akan ada lagi berkah di atas di desa ini! Tugasku sudah selesai, biarlah kalian semua menderita!” Lanjut suara misterius tersebut dengan murka. Seketika itu, keluarga tersebut panik dan memohon bahkan bersujud dengan harapan agar sang dewa mau memberi ampun, akan tetapi suara mereka tidak berarti di telinga sang dewa yang sudah tak terdengar lagi suaranya.
Cerita tentang murkanya sang dewa tersebar dengan sangat cepat di seluruh desa. Namun, mereka tidak peduli dengan kutukan tersebut, dan berpikir bahwa hal tersebut hanyalah sebuah ancaman belaka. Akan tetapi, bulan sudah berganti bulan bahkam tahun pun sudah merubah nilainya. Hujan tidak pernah turun, sungai di beberapa tempat pun mulai kering dan ladang pun seperti enggan untuk menumbuhkan tanaman. Mereka pun akhirnya sadar bahwa kutukan tersebut benar adanya, semua berkah atas desa tersebut lenyap bak ditelan bumi.
            Terlihat tiga orang remaja sedang berbincang-bincang di tengah ramainya pasar di pagi itu. Pandeitulah sebutan bagi mereka, tiga orang remaja yang terkenal pintar.
            “Apakah kalian tahu? Desa kita ini dikutuk selamanya.Ucap seorang gadis berkepang dua yang sedang membuat sebuah anyaman. “Tentu saja aku tahu....” Jawab seorang remaja pria yang duduk di sebelah kanannya. Hei! Kalian tahu tentang legenda gelang ajaib?” Ujar sesosok lelaki yang duduk di sebelah kiri gadis tersebut. Ucapannya tersebut membuat kedua temannya hanya saling berpandangan lalu menatapnya lagi.
Kau kenapa Nanggala? Mencoba mengingat masa kecil?Tanya remaja di sebelah kanan gadis tersebut. Tunggu dulu Kananga! Aku juga sebenarnya tidak tahu pasti, tapi aku berharap benda itu benar-benar ada.Balas Nanggala sambil tersenyum.
“Sebenarnya aku pernah mendengar tentang keberadaan gelang ajaib tersebut.” Gadis berkepang dua tersebut akhirnya bersuara, Kananga dan Nanggala menatap tak percaya. “Benarkah Saruni?!” Tanya Nanggala dengan semangat, Saruni mengangguk mengiyakan. Kananga yang heran bertanya mengapa Nanggala begitu bersemangat.
“Tidakkah itu jelas? Gelang tersebut bisa mengabulkan berbagai macam permohonan. Jika kita menemukannya, bukankah desa bisa kembali makmur?” Ujar Nanggala yang dibalas dengan ekspresi terkejut Saruni dan Kananga. Nanggala pun bertanya kepada Saruni di mana gelang tersebut berada.
“Tapi aku tidak tahu ini benar atau tidak, pernah beredar bahwa gelang tersebut berada di sebuah gua di gunung di dekat kuil-“
“Hei bukankah gunung itu sangat berbahaya?” Potong Nanggala. Saruni mengangguk dan melanjutkan. “Oleh karena itu, tidak ada yang berani mencarinya dan akhirnya banyak yang berkata kalau itu semua adalah kebohongan.” Tiba-tiba Nanggala berdiri dan menatap kedua sahabatnya itu.
“Ayo kita cari gelang itu!” Ujarnya lantang. “Kau sudah kehilangan akal sehatmu ya?! Kita bisa mati tahu!” Ujar Kananga dengan geram namun diacuhkan Nanggala. “Ayolah Kananga, ini untuk desa kita juga. Kau juga Saruni.” Bujuk Nanggala namun Kananga hanya menatap sinis. Saruni yang memang merupakan gadis pemberani pun setuju. Akhirnya setelah Nanggala dan Saruni mencoba meyakinkan Kananga, akhirnya ia pun setuju walau tidak tulus sepenuhnya.
            Siang harinya mereka pun merencanakan untuk pergi ke gua tersebut, sebelumnya mereka memberi tahu kepala desa perihal keinginan mereka tersebut. Walaupun sulit dipercaya, kepala desa mengijinkan mereka untuk pergi. Mengingat desa sungguh menderita dan mereka juga adalah anak-anak pintar yang pasti bisa menjaga diri.
            Siang terik itu mereka berjalan mendaki gunung tersebut dengan dipimpin Nanggala. Mereka berjalan berjam-jam lamanya hingga Saruni mulai merasa lelah dan duduk di sebuah batu besar. Kananga yang kasihan terhadap Saruni pun mengusulkan untuk beristirahat terlebih dahulu.
            “Puncaknya sudah sangat dekat kawan! Jangan buang-buang waktu! Ujar Nanggala. Saruni sedikit menggerutu karena ia tidak sekuat anak laki-laki. Akhirnya mereka terus berjalan sampai akhirnya menemukan sebuah pondok kecil yang masih terawat. Saruni pun mengusulkan untuk menumpang istirahat di pondok tersebut. Namun Nanggala dengan kukuh menolak.
Saruni tidak peduli mendekati pondok itu diikuti Kananga di belakangannya. Mereka mengetuk rumah itu beberapa kali, tetapi tetap tidak ada jawaban. Karena tidak mendapat jawaban dari rumah itu, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan mereka. Tanpa mereka sadari seseorang tengah memerhatikan mereka dari kejauhan.
            Hari semakin larut, dan perjalanan menuju puncak gunung itu pun tidak ada tanda sudah mau dekat. Karena kelelahan, akhirnya mereka sepakat untuk beristirahat dan membuat perapian untuk menghangatkan tubuh mereka. Disaat teman-temannya sudah terlelap, Kananga berjalan ke arah sungai untuk mengambil air. Saat sedang mengambil air, tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang.
            “Apa mau mu?!” Serunya sambil berbalik dan menatap orang di belakangnya.“Hei kawan tenanglah! Ini aku.Ucap orang tersebut. Kananga pun menghela napas lega. “Nanggala! Kau membuatku terkejut.Ucapnya sambil berkacak pinggang. “Bukannya kau sudah tertidur?” Tanyanya.
            “Aku belum sepenuhnya tertidur. Lagi pula, apa yang kau lakukan?” Nanggala bertanya sambil memperhatikan Kananga dari atas sampai bawah. “Mengambil air untuk keperluan besok.Jawab Kananga sambil mengangkat botol yang ia pegang.
            “Oh, baiklah. Aku akan kembali ke perkemahan.” Nanggala berkata sambil membalikkan badannya, akan tetapi dengan cepat Kananga menahan bahunya.“Nanggala! Bagaimana-Kananga dengan tiba-tiba memotong kalimatnya, Nanggala menatap heran dan menyuruhnya segera berbicara.
            “Begini... Bagaimana kalau gelangnya nanti kita pakai saja untuk keperluan kita.Kata Kananga sambil menelan ludah, tanpa sadar ia mencengkram bahu Nanggala. Ka-Kau itu bodoh ya?! Kita mencari gelang itu untuk keperluan desa kita!Nanggala melepas cengkraman tangan Kananga.
            “Itu kesalahan mereka! Mereka bodoh te-Balas Kananga tidak mau kalah namun perkataannya dipotong oleh sebuah suara. “Hei! Aku mencari kalian tahu! Kenapa meninggalkan aku sedirian?” Seru Saruni sambil setengah berteriak. “Ayo kembali! Kita harus berjalan lagi besok. Nanggala berkata sambil berlalu tanpa memandang Kananga. Mereka pun kembali tertidur.
            Pagi pun tiba, mereka memulai pagi dengan penuh semangat tanpa terkecuali Saruni. Mereka terus berjalan sampai ke puncak gunung itu, tetapi mereka tidak menemukan apa pun disana. Mereka yang kelelahan akhirnya beristirahat di bawah sebuah pohon.“Sudah ku bilang, gelang itu hanya omong kosong saja!Gerutu Kananga sambil mengelap wajahnya yang penuh keringat dengan sebuah kain. Tapi kita belum sepenuhnya mencari.Balas Saruni.
            “Terserah kalian saja! Aku sudah lelah dengan semua omong kosong ini!Seru Kananga sambil beranjak dari tempat mereka duduk. “Kita sudah membuang waktu kita di gunung ini, dan lihat kita pulang dengan tangan kosong!” lanjutnya dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Karena ucapan Kananga mereka pun dengan terpaksa memilih untuk meninggalkan tempat itu. Di tengah kegiatan mengemasi barang, terdengar geraman asing di belakang mereka. Geraman halus itu seketika hilang saat mereka menolehkan kepala. Mereka terus mencari asal suara itu, namun nihil. Sesaat mereka sempat berpikir, apakah suara itu berasal dari binatang buas atau hanya binatang kecil seperti kucing hutan. Di tengah kegiatan mereka, Saruni beristirahat sejenak lalu mengambil minum. Saat mengambil air Saruni dikagetkan dengan sosok besar berjubah hitam, bertubuh tegap, dan bertanduk.
            Dengan hati-hati ia mendekati sosok itu. “Siapa kau?” Tanyanya dengan suara pelan dan sangat hati-hati, tetapi mahluk itu hanya membalas dengan geraman. “Untuk apa kau kesini?” Tanya Saruni lagi, tapi tetap dibalas dengan geramannya.
“Saruni menjauhlah!” seru Nanggala dari arah yang berlawanan. Dengan tangkas Saruni langsung menjauhkan diri dari mahluk itu, dan setelah itu mahluk itu tertawa dengan sangat keras.
            “Apa yang kalian butuhkan?” Akhirnya mahluk itu bersuara.“Ka-Kami butuh gelang ajaib untuk desa kami,” jawab Nanggala dengan sedikit terbata-bata.“Wah... Kalian harus menggunakannya dengan bijak!” Ucapnya sambil bergerak mendekati mereka, yang membuat mereka langsung bergerak mundur. Ia tertawa lagi, dan langsung menunjuk sebuah batu besar di ujung tempat itu lalu menghilang tanpa bekas.
            “Apakah tempat itu tidak berbahaya?” ucap Nanggala sambil berjalan kearah batu itu. Saruni mengagguk dan menjawan bahwa tempat tersebut terlalu curam. “Tapi kita harus mendapatkannya!” Ujar Kananga dengan percaya diri dan berjalan mendahului Nanggala.
            Tanpa menahan diri, Kananga memasuki goa yang terlihat sangat lembab dan sempit itu. Nanggala dan Saruni mengikuti di belakang. Ia menemukan sebuah batu yang terlihat  mengkilat lalu tanpa pikir panjang mengambilnya.
            “Aku yakin di dalam ini terdapat gelang yang kita cari.” Ucap Kananga sambil memegang batu tersebut di tangannya. Kananga, letakkan batu itu karena gelang yang kita cari ada di ujung sana.Balas Saruni sambil menunjuk sebuah gelang yang bersinar. Kananga meletakkan batu tersebut dan langsung mengambil gelang yang ditunjuk Saruni. Ia pun langsung berjalan keluar goa, namun pergerakannya itu ditahan oleh Nanggala.
            “Jangan bilang kau akan meluncurkan aksi bodoh mu itu?Tanya Nanggala dengan raut wajah yang sulit untuk diartikan. Pertanyaannya tersebut dijawab oleh tawa renyah Kananga. Kita sudah mencarinya susah payah, jadi hasilnya harus jadi milik kita bukan mereka.Balas Kananga. Saruni berjalan mendekati Kananga lalu menatapnya dengan tatapan penuh arti. Kananga menghela nafas berat lalu menatap Nanggala.
            “Aku tidak akan semudah itu memberikan hasil jerih payah ku,” ucap Kananga sambil bergerak menjauhi mereka.“Kau tidak mencari itu sendirian Kananga! Kita perlu itu untuk desa kita!” seru Nanggala. Kananga tersentak, tapi ia hebat dalam memainkan mimik wajahnya. Ia hanya tersenyum dan mencoba lari namun Saruni menendang kakinya.
            “Arghh!” Erang Kananga. “Kalian jangan berlaku bodoh! Desa itu tidak berbuat banyak pada kita!” Serunya sambil berusaha berdiri. Tanpa basa-basi Nanggala langsung memegang gelang yang ada di tangan Kananga. Mereka bersungut-sungut untuk mendapatkan gelang itu. Saat hendak menarik gelang itu Kananga tergelincir dan jatuh ke tebing di dekat gua itu, beruntung ia berhasil berpegangan pada ujung tebing tersebut.
           Saruni panik melihat temannya berada di ujung kematian, berbeda dengan Nanggala yang masih dikuasai emosi. “Kemarikan tanganmu!” seru Saruni pada Kananga namun Kananga menolaknya mentah-mentah. Saruni tetap berusaha menolong temannya itu, namun Kananga terus menolaknya. Setelah sadar akan situasi, akhirnya Nanggala membantu Saruni untuk menolong Kananga tetapi saat hendak menggapai tangan Kananga, Kananga reflek menjauhkan tangannya dan mengakibatkan dirinya terjatuh dari tebing yang sangat tinggi.
Teriakan Saruni dan Nanggala memenuhi setiap inci udara, mereka melihat bagaimana Kananga hilang ditelan kegelapan tebing. Jeritan kesakitan Kananga pun perlahan menjadi sayup-sayup hingga akhirnya hilang. Dengan wajah penuh penyesalan dan duka, mereka berdua kembali ke desa. Sesampainya di desa mereka langsung menemui kepala desa dan menceritakan semua yang telah terjadi. Akhirnya desa mereka melakukan upacara untuk memohon pada gelang itu agar desa mereka bisa kembali seperti dahulu. Tidak lama dari itu turunlah hujan yang sangat lebat, sungai mulai terisi kembali dan ladang kembali dipenuhi sukacita. Warga desa sangat berterimakasih pada trio Pande. Untuk mengenang kepergian Kananga, mereka melakukan upacara pelepasan Kananga. Saruni dan Nanggala menatap langit dan melihat goresan pelangi di angkasa, mereka percaya bahwa lewat itu Kananga meminta maaf pada mereka dan berterima kasih. Saruni dan Nanggala tersenyum menatap pelangi tersebut seolah mengucapkan salam perpisahan kepada Kananga.
            Sejak saat itu desa mereka merubah nama menjadi Pandeglang, dimana ‘Pande’ dipilih untuk menghargai jasa trio Pande dan ‘gelang’ dipilih karena benda itulah yang membawa mereka ke kemakmuran.
sumber: pixabay.com

Tamat

  Baca juga:

 legenda-cisadane

cerita-rakyat-banten        

1 komentar:


  1. Prediksi Togel Sgp Mbah Bonar 13 November 2019 <a href="https://indextogel.org/prediksi-togel/prediksi-togel-sgp-mbah-bonar-13-november-2019/ > Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu hari ini </a> Gabung sekarang dan Dapatkan Potongan Setiap Hari !!!


    BalasHapus