Kategori

2018/04/24

Cerita Rumah Kebajikan

Rumah Kebajikan
(Kelenteng Boen Tek Bio)

sumber: pixabay.com

18 Februari 1998
            Matahari menutup senyumnya menjelang senja. Panas terik diganti angin sepoi – sepoi yang mengelus pipi. Biru langit pudar digantikan warna merah gelap. Kelenteng Boen Tek Bio sepi sudah. Loa Hay Yang menjalankan rutinitas seperti biasanya sebagai penjaga kelenteng dan seorang Buddha yang saleh. Menyapu dan membersihkan kelenteng. Tak lupa meletakkan hio terakhir sebagai ucapan syukur di genta. Asapnya membumbung ke angkasa. Ia menyukai rutinitas penghujung harinya itu. Namun kini, sukacita di hatinya pudar hari demi hari, seolah ikut tenggelam bersama mentari.
            Loa Hay Yang duduk termangu di halaman. Sebuah lonceng tua yang elok tergantung di halaman kelenteng Boen Tek Bio.Konon, lonceng apik itu berasal dari negeri Tiongkok dan dibuat tahun 1835. Juga ada patung singa penjaga (Ciok-say) serta tempat pembakaran kertas sembahyang (Kim Lo) berbentuk cukup antik yang dibuat pada sekitar abad ke-19. Senyum sedih menghiasi wajah Loa Hay Yang. Ia berharap, ia bisa menutup mata untuk terakhir kalinya tanpa harus melihat kelenteng bersejarah ini runtuh, terbakar, dan hal buruk lainnya yang bisa terjadi.
            “Hay Yang...” suara lembut menyapanya.
            “Bhante..” jawab Loa Hay Yang dengan sopan.
            Biksu Lin Guang Liang duduk di sebelah Loa Hay Yang sambil tersenyum. Aura bijak terpancar dari biksu berumur 60 tahun ini. Beliau berasal dari desa Huaxi di Tiongkok dan sudah mengabdikan dirinya di kelenteng Boen Tek Bio selama 20 tahun terakhir.
            “Saya lihat, akhir – akhir ini kamu murung terus. Ada apa sebenarnya? Apakah ada yang tidak beres?” tanya biksu Lin Guang Liang.
            Loa Hay Yang menghela nafas. “Saya khawatir Bhante... kondisi negara ini, secara politik, sosial, terutama ekonomi sedang tertekan. Banyak warga pribumi yang menentang keberadaan kita, kaum Tionghoa. Saya khawatir dengan kondisi kita, terutama kelenteng ini. apa yang harus kita perbuat jika kelenteng ini digusur? Apakah kita harus kembali ke negara asal kita?”
            Biksu Lin Guang Liang hanya tersenyum simpul. “Jangan mengkhawatirkan hal – hal yang belum tentu terjadi Hay. Kewajiban kita adalah terus berdoa pada Dewi Kwan Im. Kita minta petunjuk dan rahmat serta perlindungan dari-Nya. Juga kepada Hok Tek Tjeng Sien (Dewa Bumi) agar memberkati ekonomi bangsa ini. Selain itu, jika ada warga yang menentang, kita harus tetap berbuat kebajikan terhadap mereka.”
            Loa Hay Yang tersenyum. Meski kekhawatirannya tidak seluruhnya luruh, ia menjadi tenang berkat penghiburan dari Biksu Lin Guang Liang yang sangat dihormatinya itu. Ia berharap segala sesuatunya berjalan dengan baik.

20 April 1998
            Kelenteng kosong pengunjung hari ini. Hujan deras mengguyur kota Tangerang. Dari pagi hingga siang, langit bagaikan mengamuk tak henti. Petir menyambar – nyambar bumi. Suaranya menggelegar bak rasksasa. Loa Hay Yang sibuk mengepel halaman depan yang basah terkena cipratan air hujan. Ia berharap hujan akan segera berhenti. Dari kejauhan, ia dapat melihat jalanan sudah tergenang air sampai ke mata kaki. Ia berharap banjir tidak akan terjadi.
            Menjelang sore, bukannya berhenti, hujan badai malah mengamuk semakin dahsyat. Air hujan menampar – nampar jendela. Petir yang menggelegar memekakkan telinga. Ketika itu, air di jalanan sudah tergenang sampai ke betis. Di dalam kelenteng, hanya ada Loa Hay Yang si penjaga kelenteng beserta Biksu Lin Guang Liang. Raut wajah sang biksu datar, sulit dibaca.
            “Banjir! Banjir datang! Cepat mengungsi!”
            “Tolong! Tolong kami!”
            “Banjir datang! Naik ke atap rumah segera!”
            Terdengar suara warga sekitar yang berteriak bersahut – sahutan. Loa Hay Yang sudah hendak membuka pintu kelenteng untuk memeriksa keadaan. Tapi kemudian ditahan oleh sang Biksu yang sedari tadi diam seribu bahasa.
            “Mari kita sembhayang.” Ujar sang Biksu pelan.
            Loa Hay Yang bingung, namun tetap mengindahkan kata – kata dari sang biksu. Ia dan Biksu berdoa memanjatkan harapan dan meminta perlindungan kepada Dewa dan Dewi. Entah berapa lama mereka sembhayang secara khusyuk sedangkan suara ramai terus terdengar di luar kelenteng. Mereka berdua tetap berdoa dan terus berdoa sampai akhirnya hujan reda dan tak terdengar apa – apa lagi ketika mereka selesai. Mereka bangkit dan hendak keluar untuk memeriksa keadaan.
            Baik Loa Hay Yang maupun Biksu Lin Guang Liang sama – sama terkejut ketika mereka berada di luar. Banjir sudah surut kembali, namun warga berkumpul di depan kelenteng Boen Tek Bio. Mereka berbisik – bisik satu sama lain. Wajah mereka menyiratkan raut tanya dan penasaran. Salah satu dari mereka, seorang warga pribumi, menghampiri Loa Hay Yang dan Biksu.
            “Apakah kalian berdua di dalam tadi?”
            “Ya, kami ada di dalam.” Jawab Biksu Lin Guang Liang.
            “Kalian tidak tahu apa yang terjadi?” tanya orang tersebut lagi.
            “Itulah yang hendak kami tanyakan, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa warga berkumpul di depan kelenteng?” Loa Hay Yang balas bertanya.
            Orang tersebut tampak terkejut, namun menjawab, “Banjir sudah sampai sepinggang selama kalian di dalam. Dari atap rumah, beberapa dari kami dapat melihat kelenteng. Banjir tampaknya tidak mengusik bangunan ini. Airnya mengalir terus dengan deras, namun melewati kelenteng begitu saja. Hal tersebut sangat aneh. Rumah kami semua tersapu banjir, tapi bangunan ini, seolah – olah ada tembok yang menghalanginya!”
            Loa Hay Yang tidak dapat berkata – kata. Sebaliknya Biksu Lin Guang Liang mengucapkan terimakasih pada warga tersebut dan mengatakan akan menerima mereka yang terkena musibah dengan tangan terbuka di kelenteng serta bersedia membantu meringankan beban warga. Dalam hati, baik Loa Hay Yang maupun sang Biksu sangat bersyukur dan meengucapkan terimakasih kepada Dewa Dewi.



2 Mei 1998
            Kondisi ekonomi negara Indonesia kian memburuk. Berita kerusuhan terjadi dimana – mana. Beberapa lokasi dibakar dan dihancurkan. Korban jiwa berjatuhan. Warga pribumi menyerbu dengan ganasnya. Loa Hay Yang tahu, tak berapa lama lagi, kelenteng Boen Tek Bio akan menjadi sasaran warga yang mengamuk. Dan akhir – akhir itu, ia bersama Biksu Lin Guang Liang bersembhayang lebih banyak dibanding biasanya.
            Sore hari tiba. Loa Hay Yang sedang membereskan beberapa barang ketika terdengar suara riuh. Awalnya ia mengabaikannya. Namun lama kelamaan suara – suara tersebut semakin keras. Suara orang – orang yang berteriak dengan marah. Sang Biksu menghampirinya tanpa berkata – kata. Loa Hay Yang tidak cukup berani untuk keluar dari kelenteng. Ia melongokkan kepalanya keluar dari jendela. Dari kejauhan, ia melihat keramaian orang yang berteriak – teriak. Hampir semuanya membawa sesuatu di tangannya. Benda panjang, jirigen minyak, dan lain sebagainya. Dengan wajah pucat, ia memberi tahu apa yang ia lihat pada Biksu Lin Guang Liang.
            “Mungkin sebaiknya kita bersembunyi Bhante.” Kata Loa Hay Yang dengan ketakutan.
            Sang Biksu menggeleng. “Mari kita berdoa.” ujarnya. Loa Hay Yang tidak membantah perkataan tersebut.
            Mereka berdoa dan terus berdoa meminta perlindungan dari Dewa Dewi. Sementara itu, suara – suara diluar semakin keras dan akhirnya menjadi sangat keras. Baik Loa Hay Yang maupun Biksu Lin Guang Liang tidak menghentikan doa mereka. Suara orang – orang yang berteriakan dan derap langkah yang keras terdengar begitu jelas. Loa Hay Yang sangat ketakutan, namun tak menghentikan doanya.
            Tak berapa lama, suara – suara tersebut hilang bagaikan ditelan angin. Mereka menghentikan doa mereka dan memberanikan diri keluar dari kelenteng. Hal yang sama dengan beberapa bulan yang lalu mereka dapati. Warga setempat berkumpul di depan kelenteng Boen Tek Bio. Salah seorang warga menghampiri mereka dengan raut wajah heran dan terkejut.
            “Apa yang terjadi?” tanya Biksu.
            “Ada beberapa orang tak dikenal yang datang dan merusak beberapa rumah kami. Kemudian mereka mengancam kami dengan bertanya apakah ada kelenteng disini. Kami terpaksa memberi tahu mereka karena cepat atau lambat toh mereka pasti akan menemukannya. Mereka berlari menuju kelenteng, tapi kemudian melewatinya begitu saja seolah – olah tidak melihatnya. Hal tersebut rasanya mustahil.”
            Kembali Loa Hay Yang dan Biksu Lin Guang Liang diselamatkan lagi dari musibah. Mereka mengucap syukur kepada Dewa dan Dewi atas perlindungan yang diberikan selama ini. Kelenteng Boen Tek Bio masih berdiri tegak hingga sekarang. Kelenteng tersebut merupakan bangunan yang bersejarah dan merupakan tempat ibadah bagi orang – orang beragama Buddha yang tinggal di Tangerang.

.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar