Kategori

Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan

2019/02/01

Cerita Rakyat Banten




CISADANE

“Cinta Saka Pada Nela”





www.pixabay.com















 Di suatu kerajaan yang terletak di daerah Banten, tinggalah dua orang anak bangsawan. Mereka bernama Saka dan Nela. Sejak kecil mereka selalu melakukan banyak hal bersamaan seperti bermain, berbagi cerita, dan pengalaman. Hari demi hari berlalu, dan tahun pun berganti. Persahabatan mereka tetaplah kuat hingga mereka dewasa. Setelah mereka dewasa, mereka pun akhirnya menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta dan menyayangi. “Nela... Maukah kamu menjadi kekasihku?”, tanya Saka. Mendengar hal itu, terkejutlah Nela dan ia hanya terdiam. “Nela... mengapa kamu hanya diam? Apa kamu tidak mencintai aku juga?” tanya Saka lagi. “Bukannya aku tidak mau menerima kamu, tapi aku hanya terkejut akan pengakuanmu itu.”, jawab Nela. Saka pun kembali bertanya dan mendesak Nela, “Mana jawabanmu, aku tidak bisa menunggu lagi”, desak Saka. “Maaf aku tidak bisa menerima pernyataan cintamu, karena aku takut jika kamu mengetahui rahasia aku, kamu akan berhenti mencintaiku seperti dulu.”, jawab Nela. Saka kembali bertanya, “Rahasia apa yang kamu simpan sampai kamu berkata seperti itu?”

Mendengar hal itu, Nela pun bingung harus berbuat apa. Ia akhirnya menjelaskan semuanya ke Saka dan Saka pun mengerti bahkan mau menerima Nela apa adanya. Berkat kebaikan dan ketulusan Saka, mereka menikah dan hidup bahagia dengan dikaruniai seorang putri yang sangat cantik. Tapi apalah hidup jika tanpa cobaan. Suatu hari Nela mengalami muntah-muntah yang berkelanjutan, hampir setiap hari ia muntah-muntah dan berakhir tak sadarkan diri. Melihat hal itu, Saka memanggil seorang tabib. “Sayang sekali , istri anda mengalami sakit yang sangat sulit disembuhkan dan jika saya tidak salah, ini merupakan kutukan.” “Apa? Tapi apa penyebabnya?” tanya Saka. Kemudian Tabib menjelaskan,” saya tidak tau pasti dari mana asal kutukan itu namun yang jelas masih ada cara untuk menyembuhkan istri anda tapi hanya ada 2 cara dan tuanku harus pilih salah satu cara saja. Cara pertama adalah istri anda akan sembuh total namun usianya tidak lama dan cara kedua adalah istri anda dapat sembuh total dan hidup selamanya namun istri anda harus menjadi seekor ikan”.

            Saka pun bimbang karena bingung harus memilih cara yang mana tapi di dalam hatinya, ia hanya yakin 1 hal bahwa ia ingin terus bersama Nela. Hal itulah yang membuat akhirnya Saka memutuskan memilih jalan yang kedua. Hari demi hari dengan sabar Saka menemani Nela menjalani pengobatannya. Melihat Nela yang kesakitan, Saka merasa tidak tega melihat Nela yang kesakitan setiap kali menjalani pengobatan. Hari demi hari Nela mengalami perubahan pada tubuhnya. Pertama- tama kulitnya mengalami gatal- gatal dan terasa panas yang luar biasa kemudian kulitnya mulai berubah menjadi kasar dan sedikit demi sedikit muncul sisik pada kulitnya,  layaknya seperti ikan pada umumnya. “oh, Nela ku… sungguh kasihan sekali dirimu,” kata Saka sambil menahan tangis dimatanya. Nela yang tidak bisa melihat suaminya itu bersedih akhirnya berkata kepada Saka “jangan bersedih, suamiku… “
“Nela ku, andai saja kutukan itu menimpaku, kau tidak akan merasakan sakit seperti ini”
“shhhhhh… jangan berbicara seperti itu, suamiku. Ini memang sudah menjadi takdirku. Akulah yang seharusnya merasa bersalah padamu. Aku telah menjadi istri yang tidak bisa berbuat apa-apa bagimu. Terlebih dengan rupaku yang sudah buruk seperti ini.”
“tidak, tidak. Aku sama sekali tidak pernah memusingkan rupamu. Aku mencintai kau bukan dari rupamu tetapi dari hatimu. Aku akan menjaga dan merawatmu sampai sembuh. Percayalah aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun.” Sembari berkata seperti itu, ia mencium kening istrinya dan memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang.
Pada suatu hari, Saka sedang berjalan menghantarkan makanan untuk Nela yang sedang terbaring di tempat tidur. Dari kejauhan, ia melihat ada sesuatu yang aneh. Tiba-tiba, Saka melihat Nela berubah menjadi ikan sepenuhnya, baik dari fisik luar maupun dalam. Saka pun terkejut  melihat istrinya menjadi ikan yang sedang melompat-lompat mencari oksigen di atas kasurnya. Saka panik dan membawa istrinya ke dalam sebuah kendi yang berisi air. Kemudian ia segera membawanya ke tabib dan bertanya apa yang harus dilakukannya. “apa yang harus kulakukan? Istri ku sudah berubah menjadi ikan sepenuhnya. Dan, kalau ia terus berlama-lama di dalam kendi ini, ia akan mati…” tanya Saka kepada Tabib dengan raut muka gelisah.
“Tenang. Istri anda tidak akan mati kalau anda cepat-cepat melakukan hal yang akan saya katakan ini.”
“apa itu?”
“Jadi, anda harus meletakkan istri anda kedalam genangan air yang ada dikawasan timur. Tempat itu memang merupakan tempat yang angker. Tetapi, apabila anda meletakkan istri anda pada genangan air disana, kelak istri anda akan membawa ketenangan dan kedamaian ditengah-tengah daerah itu.”
            Tanpa banyak berpikir dan berbicara, Saka langsung pergi bergegas ke tempat yang ditujukan oleh tabib tersebut. Sesampainya disana ia menemukan sebuah genangan air. Dengan hati-hati dan berlahan-lahan ia meletakkan istrinya disana. “Nela ku… maafkan aku… karena hanya ini yang bisa aku lakukan agar kau bisa tetap hidup…sungguh…maafkan aku” kata Saka dengan air mata yang mengucur di pipinya.
“suamiku... kau sudah berbuat banyak untukku… tidak ada lagi yang bisa kukatakan selain terima kasih kepadamu. Kau telah menerimaku apa adanya. Baik disaat aku normal ataupun sampai sekarang aku telah berubah menjadi ikan. Beribu terima kasih pun tidak akan pernah bisa menutupi segala hal yang telah kau lakukan untukku.” Sahut Nela. Mendengar hal itu, tangisan Saka semakin keras, dengan terisak-isak ia berkata “Kau tidak perlu berterima kasih kepadaku. Semua kulakukan karena cintaku kepadamu yang begitu dalam. Aku lakukan ini supaya aku tetap bisa bersama denganmu. Hidup terus bersama mu… tidak lebih…”
“Kalau begitu, sekarang relakanlah aku pergi dan tinggalkan aku disini. Aku tahu dengan keberadaan diriku disini, aku bisa membawa damai bagi daerah ini.” Kata Nela.
“ini sulit bagiku... untuk meninggalkan kau disini sendirian…” isak Saka
“ini takdirku. Aku bahagia bahwa ternyata setidaknya dengan perubahan ku ini, mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, untuk kebahagiaanku relakanlah aku disini.”
“ tapi… satu hal yang harus kau ingat, Nela. Cintaku pada mu tidak akan pernah berubah. Kau akan selalu tetap menjadi bunga hatiku. Dan, aku berjanji akan selalu menemuimu disini. Aku sungguh mencintaimu, Nela.”
            Sesaat setelah Saka berbicara seperti itu kepada Nela, tiba-tiba muncul siluet sinar yang sangat terang dan hal berikutnya yang terjadi adalah… tiba-tiba genangan air itu berubah menjadi sebuah sungai yang sangat panjang. Melihat hal itu, Saka cepat-cepat mencari Nela “Nela… Nela… dimana kau?” Kemudian muncul sebuah sinar yang begitu menyilaukan mata dan kemudian diantara cahaya itu muncullah sosok Nela dengan rupa normal. Ia layaknya seperti Nela yang dulu, Nela yang cantik jelita. “aku sini, suamiku…” sahut Nela. “Nela… istriku… kau sudah kembali seperti dulu…”
“ya, suamiku… cintamu lah yang membuatku berubah kembali menjadi seperti diriku yang sebelumnya.” Kata Nela.
“Kalau begitu, kau masih bisa bersamaku.”
“Betul, suamiku. Tetapi, kau hanya bisa menemuiku disini. Aku tidak bisa bersamamu lagi seperti dahulu kala. Kita hanya bisa bersama ketika disungai ini saja. Sekarang, aku juga harus melindungi sungai ini agar bisa tentram dan damai.”
            Setelah kejadian itu, Nela dan Saka tetap menjalani hubungan mereka seperti dulu. Hampir setiap hari, Saka pergi ke sungai itu untuk bertemu dengan Nela. Hal itu Saka terus lakukan sampai ia tua bahkan sampai ia meninggal. Masyarakat yang ada disekitar sungai itu pun terpukau dengan cinta Saka yang begitu besar terhadap Nela. Serta, masyarakat juga sangat merasa bahagia sejak daerah itu dilindungi oleh Nela. Daerah itu menjadi daerah yang tentram dan damai. Maka, untuk mengenang itu semua akhirnya masyarakat memberikan nama sungai itu sebagai “CISADANE” yaitu Cinta Saka Pada Nela.

www.pixabay.com

sumber: pixabay.com

2018/04/24

Cerita Rumah Kebajikan

Rumah Kebajikan
(Kelenteng Boen Tek Bio)

sumber: pixabay.com

18 Februari 1998
            Matahari menutup senyumnya menjelang senja. Panas terik diganti angin sepoi – sepoi yang mengelus pipi. Biru langit pudar digantikan warna merah gelap. Kelenteng Boen Tek Bio sepi sudah. Loa Hay Yang menjalankan rutinitas seperti biasanya sebagai penjaga kelenteng dan seorang Buddha yang saleh. Menyapu dan membersihkan kelenteng. Tak lupa meletakkan hio terakhir sebagai ucapan syukur di genta. Asapnya membumbung ke angkasa. Ia menyukai rutinitas penghujung harinya itu. Namun kini, sukacita di hatinya pudar hari demi hari, seolah ikut tenggelam bersama mentari.
            Loa Hay Yang duduk termangu di halaman. Sebuah lonceng tua yang elok tergantung di halaman kelenteng Boen Tek Bio.Konon, lonceng apik itu berasal dari negeri Tiongkok dan dibuat tahun 1835. Juga ada patung singa penjaga (Ciok-say) serta tempat pembakaran kertas sembahyang (Kim Lo) berbentuk cukup antik yang dibuat pada sekitar abad ke-19. Senyum sedih menghiasi wajah Loa Hay Yang. Ia berharap, ia bisa menutup mata untuk terakhir kalinya tanpa harus melihat kelenteng bersejarah ini runtuh, terbakar, dan hal buruk lainnya yang bisa terjadi.
            “Hay Yang...” suara lembut menyapanya.
            “Bhante..” jawab Loa Hay Yang dengan sopan.
            Biksu Lin Guang Liang duduk di sebelah Loa Hay Yang sambil tersenyum. Aura bijak terpancar dari biksu berumur 60 tahun ini. Beliau berasal dari desa Huaxi di Tiongkok dan sudah mengabdikan dirinya di kelenteng Boen Tek Bio selama 20 tahun terakhir.
            “Saya lihat, akhir – akhir ini kamu murung terus. Ada apa sebenarnya? Apakah ada yang tidak beres?” tanya biksu Lin Guang Liang.
            Loa Hay Yang menghela nafas. “Saya khawatir Bhante... kondisi negara ini, secara politik, sosial, terutama ekonomi sedang tertekan. Banyak warga pribumi yang menentang keberadaan kita, kaum Tionghoa. Saya khawatir dengan kondisi kita, terutama kelenteng ini. apa yang harus kita perbuat jika kelenteng ini digusur? Apakah kita harus kembali ke negara asal kita?”
            Biksu Lin Guang Liang hanya tersenyum simpul. “Jangan mengkhawatirkan hal – hal yang belum tentu terjadi Hay. Kewajiban kita adalah terus berdoa pada Dewi Kwan Im. Kita minta petunjuk dan rahmat serta perlindungan dari-Nya. Juga kepada Hok Tek Tjeng Sien (Dewa Bumi) agar memberkati ekonomi bangsa ini. Selain itu, jika ada warga yang menentang, kita harus tetap berbuat kebajikan terhadap mereka.”
            Loa Hay Yang tersenyum. Meski kekhawatirannya tidak seluruhnya luruh, ia menjadi tenang berkat penghiburan dari Biksu Lin Guang Liang yang sangat dihormatinya itu. Ia berharap segala sesuatunya berjalan dengan baik.

20 April 1998
            Kelenteng kosong pengunjung hari ini. Hujan deras mengguyur kota Tangerang. Dari pagi hingga siang, langit bagaikan mengamuk tak henti. Petir menyambar – nyambar bumi. Suaranya menggelegar bak rasksasa. Loa Hay Yang sibuk mengepel halaman depan yang basah terkena cipratan air hujan. Ia berharap hujan akan segera berhenti. Dari kejauhan, ia dapat melihat jalanan sudah tergenang air sampai ke mata kaki. Ia berharap banjir tidak akan terjadi.
            Menjelang sore, bukannya berhenti, hujan badai malah mengamuk semakin dahsyat. Air hujan menampar – nampar jendela. Petir yang menggelegar memekakkan telinga. Ketika itu, air di jalanan sudah tergenang sampai ke betis. Di dalam kelenteng, hanya ada Loa Hay Yang si penjaga kelenteng beserta Biksu Lin Guang Liang. Raut wajah sang biksu datar, sulit dibaca.
            “Banjir! Banjir datang! Cepat mengungsi!”
            “Tolong! Tolong kami!”
            “Banjir datang! Naik ke atap rumah segera!”
            Terdengar suara warga sekitar yang berteriak bersahut – sahutan. Loa Hay Yang sudah hendak membuka pintu kelenteng untuk memeriksa keadaan. Tapi kemudian ditahan oleh sang Biksu yang sedari tadi diam seribu bahasa.
            “Mari kita sembhayang.” Ujar sang Biksu pelan.
            Loa Hay Yang bingung, namun tetap mengindahkan kata – kata dari sang biksu. Ia dan Biksu berdoa memanjatkan harapan dan meminta perlindungan kepada Dewa dan Dewi. Entah berapa lama mereka sembhayang secara khusyuk sedangkan suara ramai terus terdengar di luar kelenteng. Mereka berdua tetap berdoa dan terus berdoa sampai akhirnya hujan reda dan tak terdengar apa – apa lagi ketika mereka selesai. Mereka bangkit dan hendak keluar untuk memeriksa keadaan.
            Baik Loa Hay Yang maupun Biksu Lin Guang Liang sama – sama terkejut ketika mereka berada di luar. Banjir sudah surut kembali, namun warga berkumpul di depan kelenteng Boen Tek Bio. Mereka berbisik – bisik satu sama lain. Wajah mereka menyiratkan raut tanya dan penasaran. Salah satu dari mereka, seorang warga pribumi, menghampiri Loa Hay Yang dan Biksu.
            “Apakah kalian berdua di dalam tadi?”
            “Ya, kami ada di dalam.” Jawab Biksu Lin Guang Liang.
            “Kalian tidak tahu apa yang terjadi?” tanya orang tersebut lagi.
            “Itulah yang hendak kami tanyakan, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa warga berkumpul di depan kelenteng?” Loa Hay Yang balas bertanya.
            Orang tersebut tampak terkejut, namun menjawab, “Banjir sudah sampai sepinggang selama kalian di dalam. Dari atap rumah, beberapa dari kami dapat melihat kelenteng. Banjir tampaknya tidak mengusik bangunan ini. Airnya mengalir terus dengan deras, namun melewati kelenteng begitu saja. Hal tersebut sangat aneh. Rumah kami semua tersapu banjir, tapi bangunan ini, seolah – olah ada tembok yang menghalanginya!”
            Loa Hay Yang tidak dapat berkata – kata. Sebaliknya Biksu Lin Guang Liang mengucapkan terimakasih pada warga tersebut dan mengatakan akan menerima mereka yang terkena musibah dengan tangan terbuka di kelenteng serta bersedia membantu meringankan beban warga. Dalam hati, baik Loa Hay Yang maupun sang Biksu sangat bersyukur dan meengucapkan terimakasih kepada Dewa Dewi.



2 Mei 1998
            Kondisi ekonomi negara Indonesia kian memburuk. Berita kerusuhan terjadi dimana – mana. Beberapa lokasi dibakar dan dihancurkan. Korban jiwa berjatuhan. Warga pribumi menyerbu dengan ganasnya. Loa Hay Yang tahu, tak berapa lama lagi, kelenteng Boen Tek Bio akan menjadi sasaran warga yang mengamuk. Dan akhir – akhir itu, ia bersama Biksu Lin Guang Liang bersembhayang lebih banyak dibanding biasanya.
            Sore hari tiba. Loa Hay Yang sedang membereskan beberapa barang ketika terdengar suara riuh. Awalnya ia mengabaikannya. Namun lama kelamaan suara – suara tersebut semakin keras. Suara orang – orang yang berteriak dengan marah. Sang Biksu menghampirinya tanpa berkata – kata. Loa Hay Yang tidak cukup berani untuk keluar dari kelenteng. Ia melongokkan kepalanya keluar dari jendela. Dari kejauhan, ia melihat keramaian orang yang berteriak – teriak. Hampir semuanya membawa sesuatu di tangannya. Benda panjang, jirigen minyak, dan lain sebagainya. Dengan wajah pucat, ia memberi tahu apa yang ia lihat pada Biksu Lin Guang Liang.
            “Mungkin sebaiknya kita bersembunyi Bhante.” Kata Loa Hay Yang dengan ketakutan.
            Sang Biksu menggeleng. “Mari kita berdoa.” ujarnya. Loa Hay Yang tidak membantah perkataan tersebut.
            Mereka berdoa dan terus berdoa meminta perlindungan dari Dewa Dewi. Sementara itu, suara – suara diluar semakin keras dan akhirnya menjadi sangat keras. Baik Loa Hay Yang maupun Biksu Lin Guang Liang tidak menghentikan doa mereka. Suara orang – orang yang berteriakan dan derap langkah yang keras terdengar begitu jelas. Loa Hay Yang sangat ketakutan, namun tak menghentikan doanya.
            Tak berapa lama, suara – suara tersebut hilang bagaikan ditelan angin. Mereka menghentikan doa mereka dan memberanikan diri keluar dari kelenteng. Hal yang sama dengan beberapa bulan yang lalu mereka dapati. Warga setempat berkumpul di depan kelenteng Boen Tek Bio. Salah seorang warga menghampiri mereka dengan raut wajah heran dan terkejut.
            “Apa yang terjadi?” tanya Biksu.
            “Ada beberapa orang tak dikenal yang datang dan merusak beberapa rumah kami. Kemudian mereka mengancam kami dengan bertanya apakah ada kelenteng disini. Kami terpaksa memberi tahu mereka karena cepat atau lambat toh mereka pasti akan menemukannya. Mereka berlari menuju kelenteng, tapi kemudian melewatinya begitu saja seolah – olah tidak melihatnya. Hal tersebut rasanya mustahil.”
            Kembali Loa Hay Yang dan Biksu Lin Guang Liang diselamatkan lagi dari musibah. Mereka mengucap syukur kepada Dewa dan Dewi atas perlindungan yang diberikan selama ini. Kelenteng Boen Tek Bio masih berdiri tegak hingga sekarang. Kelenteng tersebut merupakan bangunan yang bersejarah dan merupakan tempat ibadah bagi orang – orang beragama Buddha yang tinggal di Tangerang.

.


2018/04/18

Legenda Desa Medang

LEGENDA DESA MEDANG


sumber: pixabay.com

            Pada zaman dahulu kala di sebuah desa , terdapat suatu kerajaan yang bernama Kerajaan Watugaluh. Dalam kerajaan itu tinggalah seorang raja yang bernama Sri Kartadisertai sang ratu, dan kedua anaknya yakni Pangeran Sri Sanjaya, dan Sri Wongosari beserta istri mereka masing-masing dan prajurit-prajurit nya. Merekasangat terkenal dikalangan masyarakat desa tersebut, karena kebaikan mereka seperti  ramah , peduli , tidak sombong , dan mau berbagi kepada masyarakat sekitar. Ini semua berkat didikan Raja Sri Karta yang bijaksana dan berhasil mendidik kedua anaknya.
            Pada suatu saat Raja Sri Karta jatuh sakit. Raja tersebut mengidap penyakit yang sangat parah dan langkasehingga kondisi nya tidak memungkin kan untuk banyak beraktivitas seperti biasa. Kondisi kesehatan sang raja terus kembali menurun.Ratu punmenjadi sangat panik. Ia memutuskan untuk memanggil seorang tabib dengan upaya menyebuhkan sang raja. Namun sayangnya tabib tersebuttak bisa berkata sepatah katapun tentang penyakit sang raja ini.
   “ Tabib , mengapa engkau diam saja? Tolong katakan kepada saya , penyakit apa lagi yang baginda derita. Apakah dia masih dapat bertahan ? Apakah penyakit baginda masih dapat disembuhkan ? Tolong jelaskan kepada saya Tabib! Tolong bantulah saya”kata Ratu dengan panik kepada sang tabib. Namun sang tabib tetap diam dan tidak bisa berkata apapun tentang penyakit dan kesembuhan sang raja.
               Ratu dan kedua anaknya, yakni Pangeran Sri Sanjaya dan Sri Wongosari pun memanggil tabib-tabib terkenal lainnya. Bahkan mereka memanggil tabib yang berasal dari luar desa untuk menyembuhkan penyakit Raja Sri Karta. Namun usaha mereka tak membuahkan hasil apapun, dengan kata lain sia-sia.
            Keadaan Raja Sri Karta kembali menurun jauh dan membuatnya berpikir untuk memanggilistri dan kedua anaknya agar berkumpul dan membicarakan sesuatu hal. Raja Sri Karta pun berkata kepada kedua anaknyabahwa di dalam hutan terpelosok di tengah Kerajaan Watugaluh, terdapat tempat dimana ia dulunya menyimpan harta. Harta tersebut ingin ia wariskan kepada kedua putranya.Raja Sri Karta berpesan untuk membagi hasil warisannya dengan rata.
              Harta warisan Raja Sri Karta berada didalam sumur yang berada di suatu goa tersembunyi di dalam hutan tersebut. Hutan itu terkenal sangat angker yang dulunya digunakan untuk membuang jasad orang yang telah dihukum mati oleh pemerintahan terdahulu. Hutan itu dikenal dengan ‘Hutan Kematian'.
Tak lama kemudian, Raja Sri Karta pun meninggal akibat penyakit langka yang dideritanya. Setelah sang Raja meninggal, sifat kedua putranya berubah drastis. Kini mereka memiliki sudut pandang yang serakah dan haus akan harta. Mereka egois dan meningkatkan pajak desa dengan harga yang tidak masuk akal. Mereka berdua pun mulai memperebutkan harta. Inilah penyebab dan awal mulanya terjadi perang antar saudara.
       Seiring berjalannya waktu, Ratu pun wafat termakan oleh usia. Keadaan semakin memanas,kedua Pangeran semakin menginginkan harta karun peninggalan sang Raja. Bahkan, harta warisan sang Raja pun kini dijadikan taruhan oleh kedua putranya. Barangsiapa yang berhasil mendapatkan harta tersebut, ialah yang berhak untuk memegang kendali atas Kerajaan Watugaluh ini.
             Pangeran Sri Sanjaya dan Sri Wongosari saling bertarungyang untuk mendapatkan harta warisan yang berada di dalam Hutan Kematian tersebut. Istri Pangeran Sri Sanjaya pun mendukung suaminya dengan berkata“Saya doakan semoga mas mendapatkan harta karun tersebut. Jika kita sudah mendapatkan hartakarun sudah sangat yakin kita dapat menjual nya dan hidup kita semakin kaya raya”.
            Di sisi lain, istri Pangeran Sri Wongosari bisa dikatakan tak mau kalah liciknya. Diam-diam dan tanpa sepengetahuan siapapun terkecuali suaminya, istri Pangeran Sri Wongosarimenaruh racun di atas minuman Pangeran Sri Sanjaya. Namun kesalahan besar dibuatnya. Yang meminum racun tersebut bukanlah Pangeran Sri Sanjaya, melainkan istri Pangeran Sri Sanjaya.
            Pangeran Sri Sanjaya marah besar dan mengamuk. Ia berjanji pada dirinya bahwa ia akan membalas dendam dan membunuh istri dan Pangeran Sri Wongosari. Awalnya ia berhasil membunuh istri Pangeran Wongosari dalam sekejap. Kini kedua pangeran pun tak bisa mengendalikan diri dan terkontrol oleh panasnya emosi masing-masing.
            Kerajaan Watugaluh kini terbagi menjadi dua, yakni Watugaluh Timur dan Watugaluh Barat. Kedua blok barat dan timur mempersiapkan prajuritnya dengan matang untuk menghadapi peperangan yang entah kapan akan terjadi. Mereka membentuk benteng pertahanan yang sangat besar. Hutan Kematian yang berada di tengah menjadi pemisah terbesar mereka.
           Hari itu pun tiba, dimana kedua Pangeran memutuskan untuk memperebutkan harta warisan itu. Kedua pangeran memulai perjalanan dari bloknya masing-masing dengan membawa prajurit dalam hitungan banyak. Mereka melewati hutan yang angker dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Burung gagak banyak beterbangan. Hingga akhirnya mereka bertemu di tengah hutan dimana goa tersebut berada.

 Akhirnya ditengah hutan mereka berperang dan terjadi pertumpahan darah. Pangeran Sri Sanjaya menang. Dengan tidak sabar dan rasa ingin tahu yang besar sebenarnya apa isi harta karun tersebut, ia segera memasuki goa dan mencari harta karun itu. Setelah menemukan sebuah kotak ia segera membuka kotak tersebut .dan kotak itupun berhasil terbuka. Sambil menutup mata agar setelah melihat isi harta karun itu ia terkejut, ia membuka kotak perlahan-lahan tapi pasti, cahaya memancar dari dalam kotak, pangeran sri sanjayalangsung melihat dan sangat terkejut dan sangat heran dengan apa yang ada di dalam kotak itu. Isi kotak itu adalah sebuah cermin dan selembar kertas yang betuliskan “ quotes, kayak yang di kungfu panda. Pokoknya keberhasilan berasal dari diri sendiri” raja 2 kecewa dan sangat kesal dengan harta karun yang tidak sesuai harapan yang ia inginkan.

Tempat itu menjadi bersejarah, karena adanya medan perang, tempat itu dinamai MEDANG

Legenda Cisadane





CISADANE


“Cinta Saka Pada Nela”





















 


Di suatu kerajaan yang terletak di daerah Banten, tinggalah dua orang anak bangsawan. Mereka bernama Saka dan Nela. Sejak kecil mereka selalu melakukan banyak hal bersamaan seperti bermain, berbagi cerita, dan pengalaman. Hari demi hari berlalu, dan tahun pun berganti. Persahabatan mereka tetaplah kuat hingga mereka dewasa. Setelah mereka dewasa, mereka pun akhirnya menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta dan menyayangi. “Nela... Maukah kamu menjadi kekasihku?”, tanya Saka. Mendengar hal itu, terkejutlah Nela dan ia hanya terdiam. “Nela... mengapa kamu hanya diam? Apa kamu tidak mencintai aku juga?” tanya Saka lagi. “Bukannya aku tidak mau menerima kamu, tapi aku hanya terkejut akan pengakuanmu itu.”, jawab Nela. Saka pun kembali bertanya dan mendesak Nela, “Mana jawabanmu, aku tidak bisa menunggu lagi”, desak Saka. “Maaf aku tidak bisa menerima pernyataan cintamu, karena aku takut jika kamu mengetahui rahasia aku, kamu akan berhenti mencintaiku seperti dulu.”, jawab Nela. Saka kembali bertanya, “Rahasia apa yang kamu simpan sampai kamu berkata seperti itu?”

Mendengar hal itu, Nela pun bingung harus berbuat apa. Ia akhirnya menjelaskan semuanya ke Saka dan Saka pun mengerti bahkan mau menerima Nela apa adanya. Berkat kebaikan dan ketulusan Saka, mereka menikah dan hidup bahagia dengan dikaruniai seorang putri yang sangat cantik. Tapi apalah hidup jika tanpa cobaan. Suatu hari Nela mengalami muntah-muntah yang berkelanjutan, hampir setiap hari ia muntah-muntah dan berakhir tak sadarkan diri. Melihat hal itu, Saka memanggil seorang tabib. “Sayang sekali , istri anda mengalami sakit yang sangat sulit disembuhkan dan jika saya tidak salah, ini merupakan kutukan.” “Apa? Tapi apa penyebabnya?” tanya Saka. Kemudian Tabib menjelaskan,” saya tidak tau pasti dari mana asal kutukan itu namun yang jelas masih ada cara untuk menyembuhkan istri anda tapi hanya ada 2 cara dan tuanku harus pilih salah satu cara saja. Cara pertama adalah istri anda akan sembuh total namun usianya tidak lama dan cara kedua adalah istri anda dapat sembuh total dan hidup selamanya namun istri anda harus menjadi seekor ikan”.

            Saka pun bimbang karena bingung harus memilih cara yang mana tapi di dalam hatinya, ia hanya yakin 1 hal bahwa ia ingin terus bersama Nela. Hal itulah yang membuat akhirnya Saka memutuskan memilih jalan yang kedua. Hari demi hari dengan sabar Saka menemani Nela menjalani pengobatannya. Melihat Nela yang kesakitan, Saka merasa tidak tega melihat Nela yang kesakitan setiap kali menjalani pengobatan. Hari demi hari Nela mengalami perubahan pada tubuhnya. Pertama- tama kulitnya mengalami gatal- gatal dan terasa panas yang luar biasa kemudian kulitnya mulai berubah menjadi kasar dan sedikit demi sedikit muncul sisik pada kulitnya,  layaknya seperti ikan pada umumnya. “oh, Nela ku… sungguh kasihan sekali dirimu,” kata Saka sambil menahan tangis dimatanya. Nela yang tidak bisa melihat suaminya itu bersedih akhirnya berkata kepada Saka “jangan bersedih, suamiku… “
“Nela ku, andai saja kutukan itu menimpaku, kau tidak akan merasakan sakit seperti ini”
“shhhhhh… jangan berbicara seperti itu, suamiku. Ini memang sudah menjadi takdirku. Akulah yang seharusnya merasa bersalah padamu. Aku telah menjadi istri yang tidak bisa berbuat apa-apa bagimu. Terlebih dengan rupaku yang sudah buruk seperti ini.”
“tidak, tidak. Aku sama sekali tidak pernah memusingkan rupamu. Aku mencintai kau bukan dari rupamu tetapi dari hatimu. Aku akan menjaga dan merawatmu sampai sembuh. Percayalah aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun.” Sembari berkata seperti itu, ia mencium kening istrinya dan memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang.
Pada suatu hari, Saka sedang berjalan menghantarkan makanan untuk Nela yang sedang terbaring di tempat tidur. Dari kejauhan, ia melihat ada sesuatu yang aneh. Tiba-tiba, Saka melihat Nela berubah menjadi ikan sepenuhnya, baik dari fisik luar maupun dalam. Saka pun terkejut  melihat istrinya menjadi ikan yang sedang melompat-lompat mencari oksigen di atas kasurnya. Saka panik dan membawa istrinya ke dalam sebuah kendi yang berisi air. Kemudian ia segera membawanya ke tabib dan bertanya apa yang harus dilakukannya. “apa yang harus kulakukan? Istri ku sudah berubah menjadi ikan sepenuhnya. Dan, kalau ia terus berlama-lama di dalam kendi ini, ia akan mati…” tanya Saka kepada Tabib dengan raut muka gelisah.
“Tenang. Istri anda tidak akan mati kalau anda cepat-cepat melakukan hal yang akan saya katakan ini.”
“apa itu?”
“Jadi, anda harus meletakkan istri anda kedalam genangan air yang ada dikawasan timur. Tempat itu memang merupakan tempat yang angker. Tetapi, apabila anda meletakkan istri anda pada genangan air disana, kelak istri anda akan membawa ketenangan dan kedamaian ditengah-tengah daerah itu.”
            Tanpa banyak berpikir dan berbicara, Saka langsung pergi bergegas ke tempat yang ditujukan oleh tabib tersebut. Sesampainya disana ia menemukan sebuah genangan air. Dengan hati-hati dan berlahan-lahan ia meletakkan istrinya disana. “Nela ku… maafkan aku… karena hanya ini yang bisa aku lakukan agar kau bisa tetap hidup…sungguh…maafkan aku” kata Saka dengan air mata yang mengucur di pipinya.
“suamiku... kau sudah berbuat banyak untukku… tidak ada lagi yang bisa kukatakan selain terima kasih kepadamu. Kau telah menerimaku apa adanya. Baik disaat aku normal ataupun sampai sekarang aku telah berubah menjadi ikan. Beribu terima kasih pun tidak akan pernah bisa menutupi segala hal yang telah kau lakukan untukku.” Sahut Nela. Mendengar hal itu, tangisan Saka semakin keras, dengan terisak-isak ia berkata “Kau tidak perlu berterima kasih kepadaku. Semua kulakukan karena cintaku kepadamu yang begitu dalam. Aku lakukan ini supaya aku tetap bisa bersama denganmu. Hidup terus bersama mu… tidak lebih…”
“Kalau begitu, sekarang relakanlah aku pergi dan tinggalkan aku disini. Aku tahu dengan keberadaan diriku disini, aku bisa membawa damai bagi daerah ini.” Kata Nela.
“ini sulit bagiku... untuk meninggalkan kau disini sendirian…” isak Saka
“ini takdirku. Aku bahagia bahwa ternyata setidaknya dengan perubahan ku ini, mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, untuk kebahagiaanku relakanlah aku disini.”
“ tapi… satu hal yang harus kau ingat, Nela. Cintaku pada mu tidak akan pernah berubah. Kau akan selalu tetap menjadi bunga hatiku. Dan, aku berjanji akan selalu menemuimu disini. Aku sungguh mencintaimu, Nela.”
            Sesaat setelah Saka berbicara seperti itu kepada Nela, tiba-tiba muncul siluet sinar yang sangat terang dan hal berikutnya yang terjadi adalah… tiba-tiba genangan air itu berubah menjadi sebuah sungai yang sangat panjang. Melihat hal itu, Saka cepat-cepat mencari Nela “Nela… Nela… dimana kau?” Kemudian muncul sebuah sinar yang begitu menyilaukan mata dan kemudian diantara cahaya itu muncullah sosok Nela dengan rupa normal. Ia layaknya seperti Nela yang dulu, Nela yang cantik jelita. “aku sini, suamiku…” sahut Nela. “Nela… istriku… kau sudah kembali seperti dulu…”
“ya, suamiku… cintamu lah yang membuatku berubah kembali menjadi seperti diriku yang sebelumnya.” Kata Nela.
“Kalau begitu, kau masih bisa bersamaku.”
“Betul, suamiku. Tetapi, kau hanya bisa menemuiku disini. Aku tidak bisa bersamamu lagi seperti dahulu kala. Kita hanya bisa bersama ketika disungai ini saja. Sekarang, aku juga harus melindungi sungai ini agar bisa tentram dan damai.”
            Setelah kejadian itu, Nela dan Saka tetap menjalani hubungan mereka seperti dulu. Hampir setiap hari, Saka pergi ke sungai itu untuk bertemu dengan Nela. Hal itu Saka terus lakukan sampai ia tua bahkan sampai ia meninggal. Masyarakat yang ada disekitar sungai itu pun terpukau dengan cinta Saka yang begitu besar terhadap Nela. Serta, masyarakat juga sangat merasa bahagia sejak daerah itu dilindungi oleh Nela. Daerah itu menjadi daerah yang tentram dan damai. Maka, untuk mengenang itu semua akhirnya masyarakat memberikan nama sungai itu sebagai “CISADANE” yaitu Cinta Saka Pada Nela.


Legenda Rawa Kutuk


Legenda Rawa Kutuk

sumber: pixabay.com


Dahulu kala, terdapat dua kerajaan besar yang berada di Tangerang. Kedua kerajaan tersebut adalah Kerajaan Majapayung yang berada di sebelah Barat, dan Kerajaan Gatolan berada di sebelah Timur. Di antara dua kerajaan tersebut, terdapat sebuah jalan yang menghubungkan dua kerajaan. Kerajaan Majapayung dipimpin oleh Ratu Malin, sedangkan Kerajaan Gatolan ini dipimpin oleh Raja Lulung. Penduduk yang tinggal di sekitar Kerajaan Gatolan sangatlah banyak, sehingga wilayah Gatolan menjadi sangat sempit dan terlalu ramai. Oleh karena itu, Raja Lulung memutuskan untuk memperluas daerah kekuasaannya. Dalam hatinya, “Alangkah banyaknya orang-orang yang tunduk padaku, tapi lihatlah ini, sepertinya kurang luas daerahku ini.” Maka disuruhlah utusannya mencari daerah untuk memperluas kekuasaannya.
Utusannya pun pergi mencari. Setelah lama mencari, mereka menemukan sebuah jalan tak berpenghuni yang jaraknya tidak begitu jauh dari kerajaan. Dan disekitar jalan tersebut terdapat rawa sehingga jalan tersebut dikenal dengan Jalan Rawa. Mendengar kabar tersebut, Raja Lulung menyampaikan kepada penduduknya dan pengikutnya bahwa adanya lahan untuk ditempati. Tanpa berpikir panjang, segeralah penduduknya menempati jalan tersebut. Raja Lulung tidak mengetahui bahwa Jalan Rawa adalah milik Kerajaan Majapayung. Berita bahwa Jalan Rawa telah diambil alih oleh Kerajaan Gatolan telah sampai di telinga Kerajaan Majapayung. Mendengar hal ini, Ratu Malin dari Barat pun kesal. Sang ratu langsung menyatakan perang terhadap Kerajaan Gatolan.
Lima hari kemudian perang berlangsung darah berceceran, mayat bergeletakan, senjata perang bertebaran. Pada hari ke tiga belas Kerajaan Gatolan dapat mengalahkan pasukan Raja Lulung tapi Jalan Rawa menjadi rusak akibat perang yang terjadi. Pada hari itu juga rakyat langsung dengan semangat memperbaiki jalan tersebut, sementara itu di Kerajaan Majapayung Ratu Malin sangat murka melihat kemenangan Kerajaan Gatolan. Segera ia mengutus orang pintar bernama Nyi Jongkrak untuk mengutuk jalannya yang telah diambil alih. “Sebanyak butiran pasir pun engkau membenarkan jalan ini, sampai mati pun tidak akan bagus.”
       Raja Lulung pun bingung harus berbuat apa. Hatinya sangatlah kesal, tetapi ia tahu bahwa apa yang dibuatnya salah. Ia tidak ingin meminta maaf kepada Ratu Malin. Raja Lulung berpikir keras bagaimana cara untuk menghilangkan kutuk dari Jalan Rawa dan memindahkan kutuk tersebut ke Kerajaan Majapayung agar Ia dapat mengambil kembali Jalan Rawa tersebut. Ia meminta panglimanya untuk mencari dukun yang dapat menghilangkan kutuk jalan tersebut.  Setelah beberapa hari kemudian, sang panglima pun mendapat seorang dukun terkenal di daerah Kerajaan Gatolan. Raja Lulung pun langsung meminta si dukun untuk menghilangkan kutuk di Jalan Rawa dan memindahkannya ke Kerajaan Majapayung. Ia juga berjanji akan memberikan imbalan yang besar jika si dukun berhasil menghilangkan kutukannya. Si dukun ini pun menyetujuinya.
Segera ia pergi ke jalan tersebut. Namun sesampainya di jalan itu, seketika ia seperti mendapatkan firasat buruk. Tapi mengingat sang raja akan memberikan imbalan yang menggiurkan, ia kemudian mempersiapkan segala yang ia butuhkan dan mengucapkan mantranya. Setelah mengucapkan mantra tersebut, tiba-tiba langit menjadi gelap dan petir menggelegar dimana-mana.
        Si dukun pun mulai ketakutan lalu melarikan diri. Namun, pada saat dia melarikan diri, petir menyambar dirinya lalu mati. Dukun tidak berhasil mengangkat kutukan dikarenakan dukun yang berasal dari Kerajaan Gatolan telah mengutuk jika ada yang berusaha mengangkat kutukan tersebut, langit akan menjadi gelap dan petir akan menyambar orang yang berusaha mengangkat kutukan.
Raja Lulung pun pantang menyerah. Ia terus berusaha mencari orang pintar untuk menghapus kutukan tersebut. Berminggu-minggu, berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tidak ada satupun orang yang mampu menghapus kutukan dari Ratu Malin bahkan puluhan orang pintar sudah menjadi korban dari kutukan itu. Akhirnya, Raja Lulung pun menyerah, ia tidak berusaha mencabut kutukan tersebut lagi. Sehingga orang-orang Kerajaan Gatolan yang tinggal di sekitar jalan tersebut menyebutnya "Rawa Kutuk".



sumber: pixabay.com

2018/04/12

Legenda Sungai Cisadane

Legenda Sungai Cisadane


sumber: pixabay.com
Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang gadis desa yang diberikan kecantikan yang sangat menawan. Amat cantik jelita rupa wajahnya. Tapi wajahnya yang cantik mempunyai perilaku sang putrid sangat buruk dan tidak terpuji. Merasa dirinya merupakan anak kepala desa, gadis desa ini sangat manja. Segala keinginannya harus dituruti. Jika tidak dituruti ia akan mengamuk dan marah-marah. Gadis desa ini juga dikenal sebagai orang yang sangat pemalas. Ia menghabiskan waktunya untuk berdandan dan kemudian mengagumi kecantikannya sendiri. Salah satu sifat buruk lain dari sang gadis adalah kesombongannya. Sang gadis merasa dia adalah perempuan yang paling sempurna dari perempuan yang ada di desa itu.
Gadis desa itu pernah meminta sebuah kebun yang besar milik sahabatnya itu setelah dia meminta dengan paksa. Kebun itu sangat subur, yang terletak di kaki gunung. Selain luas dan indah kebunnya itu juga dilengkapi dengan sumur yang sangat dalam dan airnya tak habis-habis. Berbagai tanaman pokok ditanam di kebun yang indah dan luas itu. Serasa untuk melengkapi keindahannya, terdapat sebuah sungai  di dekat itu.
Sungai di dekat kebun berair sangat jernih dapat digunakan untuk berkaca. Jika sang gadis berada di taman, sang gadis akan mandi di sungai itu. Sang gadis tidak memperbolehkan siapa pun untuk mandi di sungai itu tanpa izin langsung darinya. Gadis desa itu meminta ayahnya untuk menjatuhkan hukuman yang berat kepada siapapun yang mandi di sungai itu tanpa izinnnya.
Pada suatu hari sang gadis berada di tamannya seperti biasanya, sang gadis itu mandi di sungai itu sendirian. Temannya bahkan tidak diperbolehkan untuk mendekati sungai tersebut. Sang gadis seperti ingin menguasai sepenuhnya sungai itu sendirian. Dia tidak mau berbagi dengan siapa pun juga.
Ketika sang gadis tengah mandi, seorang perempuan tua berpakaian compang-camping dating ke sungai itu. Entah darimana asal si perempuan tua karena mendadak dia muncul dekat sungai. Perempuan tua itu terlihat seperti dia ingin mandi atau mencuci muka di sungai itu.
Sang gadis sangat kesal melihat si perempuan tua berpakaian compang-camping itu. Dia segera dating ke hadapan si perempuan tua. Katanya dengan wajah kemarahannya dan sambil menunjuk si perempuan tua. Sang gadis bertanya kepada si perempuan tua itu mengapa ia ada di sini tapi perempuan tua hanya terdiam dan menatap heran pada sang gadis. Sang gadis pun kembali bertanya kepada si perempuan tua mengapa ia ke sungai ini. Si perempuan tua masih tetap terdiam. Dia seperti kebingungan dan keheranan mendengar bentakan sang gadis.
Si gadis itu langsung memaki-maki perempuan tua itu dia mengatakan “Dasar kau tuli dan buta. Sungai ini hanya khusus untukku, bukan untuk perempuan tua dekil seperti engkau. ”Si perempuan tua tetap terdiam. Bibirnya tampak gemetar seperti sedang menahan marah.
Melihat si perempuan tua tetap terdiam dan juga tidak pergi, sang gadis sekali lagi memaki perempuan tua itu dengan kasar.” Perempuan dekil, cepatlah pergi menjauh dari sungai ini! Pergi! Air sungai yang jernih ini akan kotor terkena tubuhmu yang dekil dan bau!”
“Betapa sombongnya engkau ini.” Akhirnya keluar juga ucapan dari si perempuan tua.
“Apa katamu!?” Sang gadis langsung menyela. “Apakah kau tidak tahu saat ini sedang berbicara dengansiapa?”
“Aku tahu. Aku tengah berhadapan dengan seorang gadis yang paling cantik di desamu” Jawab si perempuan tua. ”Tapi apa karena engkau seorang gadis yang cantik berhak bertindak semaumu terhadap orang lain?”
“Apa urusanmu?” sang gadis bertambah marah.”Aku gadis desa yang paling cantik, aku bebas berbuat apapun yang aku suka, termasuk mengusirmu! Pergi engkau hai perempuan dekil buruk rupa.”
“Engkau memang gadis yang cantik, namun tidak seharusnya berbuat semaunya dan merasa sombong. Engkau tetaplah seorang manusia adanya. Ucapan kasarmu itu tidak layak diucapkan oleh manusia. Ucapanmu sangat berbisa dan hanya ular yang berbisa yang bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu”
Setelah si perempuan tua selesai berbicara seperti itu, tiba-tiba terjadi sesuatu yang aneh. Langit mendadak berubah menjadi gelap dan petir menyambar, sangat menakutkan untuk dilihat. Tiba-tiba cahaya menyilaukan mata menerangi langit yang gelap dengan petir yang menggelegar menghantam tubuh sang gadis. Lalu tubuh gadis itu terpental dan berubah menjadi seekor ular berbisa. Gadis cantik itu kena kutukan menjadi ular berbisa karena kesombongannya.
Ular jelmaan gadis itu terlihat sangat sedih. Ia menangis dan menyesali perbuatannya. Lidahnya terlihat bergerak-gerak dan suaranya mendesis seolah meminta maaf atas sombongnya dia kepada si perempuan tua itu. Namun, airmata penyesalan tinggallah air mata dan penyesalannya karena wujud sang gadis berubah menjadi ular.
Dari langit tiba-tiba terdengar suara yang tertuju pada ular itu. ”Karena kesombonganmu, kau tidak pantas menjadi manusia. Engkau pantas menjadi ular berbisa untuk selama-lamanya!” Kutukan telah jatuh dan tetap untuk sang gadis.
Penyesalan itu tidak bisa mengubah wujudnya ia kembali menjadi gadis yang cantik dulunya. Sambil menangis, ular itu memasuki sungai. Karena dia sangat malu dengan wujudnya yang menjadi ular, dia bersembunyi di dasar sungai dan menjadi tempat dia sekarang.
Sang gadis yang terkena kutukan hingga berubah wujud menjadi ular hitam berbisa diketahui oleh pada penduduk sekitar sungai. Mereka pun menamakan sungai itu dengan nama yang artinya sungai tempat sang gadis sombong. Sungai ini sekarang lebih dikenal sebagai Sungai Cisadane
sumber: pixabay.com