Kategori

2016/10/05

Short Story

Apakah Hidupmu seperti Hidupku?

Pagi ini adalah hari yang cerah dan penuh semangat. Telah semalaman aku tidur nyenyak bersama teman-teman yang lain dalam sebuah tempat yang sangat kasat mata oleh orang lain. Kini aku siap membantu seseorang, pastinya dia, yang empunya tempat di mana aku tinggal, walaupun aku enggan beranjak dari tempatku.
Inilah hari pertama aku dibawa ke sekolah olehnya. Dengan sedan hitamnya akhirnya aku tiba di sekolah. Kudengar hiruk pikuk suara anak-anak.
“Pagi, Riri, tumben datang pagi. Biasanya selalu aku duluan,” kata seseorang yang amat dekat denganku.
“Iya nih, soalnya ada beberapa materi yang belum aku pahami. Biasalah … aku mau tanya-tanya dulu sebelum akhirnya harus berkutat dengan soal. Hehehe ….” jawab anak yang bernama Riri.
Setelah beberapa saat mereka berdiskusi. Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Itu artinya semua anak wajib untuk berbaris di depan kelas dan mulai masuk satu per satu untuk duduk manis mengerjakan soal-soal ujian.
“Semoga soalnya tidak sulit, deh,” celetuk seseorang di belakangku.
Setelah soal dibagikan, suasana hening. Aku terkejut karena tiba-tiba sebuah tangan menarikku dari tempat istirahatku. Oh, ternyata sudah waktunya untuk bekerja.
Seseorang memegang erat diriku, seolah-olah takut bila aku melarikan diri dari tangannya. Tapi walau sakit badanku, aku tak marah karena yang memegangku adalah tangan seorang gadis belia nan rupawan. Tangan itu begitu putih dan lembut. Sepertinya anak ini rajin merawat diri terlebih tangannya. Ya, paling tidak selalu mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan lotion di tangannya. Hm … atau mungkin anak ini tidak pernah bekerja kasar termasuk pekerjaan rumah tangga. Ah … yang penting tangannya halus dan nyaman menempel di tubuhku. Lihat!! Kukunya pendek-pendek dan rapi. Rupanya anak ini bukan tipe pemelihara kuku panjang aliran Mak Lampir. Bahkan tak ada setitik tinta pun menodai salah satu kukunya. Bersih. Ruas-ruas jarinya ideal, kurus dan panjang, sangat cocok dengan kukunya yang berbentuk buah petai.
Tengah mengaguminya, aku terkejut karena badanku bergulir ke bawah sejajar dengan meja. Ya, aku dilepaskannya hati-hati. Kulihat dia tampak serius mengeja kata yang tercetak di kertas. Setelah itu, ia tampak merenung beberapa saat, aku tak berani mengganggu, bergerak pun aku takut. Aku diam dalam ketenangan. Tiba-tiba dengan muka cerah ia mulai menyentuhku lagi kali ini. Aku bersorak! Inilah waktu yang tepat untuk mengetahui aktivitasku. Aku digenggamnya lalu diajak untuk mendekati sebuah bulatan kecil warna biru yang berdiameter 3 mm, di tengahnya terdapat tinta berwarna biru yang mencetak huruf B. aku mulai menjejakkan tubuhku di atas lingkaran itu, lalu aku berputar-putar kira-kira 15 kali. Hasilnya dalam beberapa detik lingkaran itu menjadi hitam dan semua tertutup oleh pekatnya kegelapan.
Aku pusing. Badanku limbung. Beruntungnya aku karena masih dalam genggamannya kalau tidak aku bisa langsung berguling-guling di dasar meja bahkan di lantai. Belum sempat aku menyesuaikan diriku, tiba-tiba aku harus mengulangi hal serupa yaitu memberi kegelapan pada tiga lingkaran lagi. Bisa dibayangkan, aku harus mengalami pusing tiga kali lipat dari semula. “Seberat inikah sebuah pekerjaan?” keluhku. Tapi mendadak rasa itu hilang saat kulihat dia tersenyum puas. “Apakah pekerjaanku sempurna?” tanyaku dalam hati. Mungkin begitulah adanya tapi kurasa itu semua tak sebanding dengan penderitaanku saat ini.
Kini aku kembali dalam sentuhannya, kali ini aku tak dilepaskan. Dia sudah menekuni kertas di hadapannya lagi. Aku bergoyang-goyang dalam tangannya tapi dia tak memperhatikanku. Beberapa menit kemudian ujung tubuhku memukul-mukul pipi dan dagunya. “Hei, apakah kau tak merasa sakit?” batinku. Dia diam saja seolah tak peduli mukanya menjadi sasaran tendanganku dalam genggamannya di udara. Sesaat kulihat ke bawah. Wow … ternyata ada banyak lingkaran kecil di sana. “Apakah semua akan mengalami kegelapan? Apakah semua itu berarti pekerjaanku belum berakhir?” tanyaku dalam hati.
Setelah itu aku dibawa masuk ke sebuah lorong. Kulihat mesin penggiling tajam dengan permukaan yang sangat mengilap. “Oh, apa yang akan terjadi pada diriku?” tanyaku penuh ketakutan. Aku ingin berontak dan lari menjauhi barang itu tetapi apa dayaku. Akhirnya dia mulai memutar memutar mesin itu. Tubuhku tercabik, susut, dan sakit rasanya. Setelah beberapa putaran mesin itu berhenti. Aku merasakan perubahan yang terjadi. “Oh, mataku semakin tajam dan panjang, tetapi tubuhku … panjangnya mulai berkurang, kepala sudah hampir mendekati kaki. Oh, aku ingin seperti dulu lagi!” jeritku.
Setiap aku berhasil memberi kegelapan pada tiga lingkaran di bawah, aku selalu memasuki mesin penyusut tubuhku. Saat itu pula aku ingin berontak dan bebas. Bila perlu ingin kulukai tubuh dan tangan halus itu dengan mataku yang tajam ini. Biarlah … biar dia juga merasakan sakit yang kualami. Hilang sudah rasa gembira karena sentuhan kulit tangannya yang halus dan lembut. Hilang sudah rasa bangga karena sudah berada dalam tangannya yang indah dan sempurna.
Akhirnya, setelah peristiwa menyakitkan itu beberapa kali terulang, aku pun sudah mulai bosan mengeluh, menjerit, dan meratap. Aku malah mengambil sisi baiknya. Bentukku lebih tajam. Walaupun pendek tetapi aku terlihat semakin kecil dan lucu. Dan yang terpenting aku dapat membantu orang yang telah sudi menampungku. Mungkin kalau aku boleh bereinkarnasi, aku akan menjadi barang yang lain selain pensil 2B agar aku juga tahu kegunaan dan manfaat benda lain tersebut.

Terinspirasi ujian mid semester 1
September 2011

Oleh: M. Leli Wibowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar