A. Gaya Bahasa Pengarang
Gaya
bahasa adalah cara pengarang menyampaikan ceritanya. Sebagai contoh, ada
pengarang yang menggunakan bahasa puitis, ada pula yang menggunakan bahasa
lugas. Gaya bahasa pengarang akan menjadikan ciri khas karyanya.
Perhatikan cuplikan cerpen berikut!
“Pak Amat, kan, tahu sendiri, saya ini orang
yang sangat memikirkan kebersamaan. Di hunian kita ini, rasanya makin lama
sudah semakin sumpek. Karena membangun hanya diartikan membuat bangunan.
Akibatnya sawah, apalagi taman, tergerus, tidak ada ruang bebas untuk bernapas
lagi. Hari Minggu, hari besar, hari raya, waktu kita duduk di rumah untuk
beristirahat, rasanya sumpek. Di mana-mana gedung. Burung hidup dalam sangkar,
kita dalam tembok! Tidak ada pemandangan, tempat pandangan kita lepas. Betul,
tidak? Karena itu, perlu ada paru-paru buatan supaya hidup kita tetap
berkualitas! Kan saya yang memelopori pendirian taman, alun-alun, sekolah, dan
tempat rekreasi di lingkungan kita ini. Sebab tidak cukup hanya raga yang
sehat, jiwa juga harus segar. Begitu strategi saya dalam bermasyarakat, tidak
boleh hanya enak sendiri, kita juga harus, wajib, membuat orang lain bahagia.
Dengan begitu kebahagiaan kita tidak akan berkurang oleh keirian orang lain,
karena ketidakbahagiaan orang lain. Demokrasi ekonomi itu, kan, begitu. Itulah
yang selalu saya pikirkan dan realisasikan dalam hidup bermasyarakat. Tapi kok
sekarang, kok saya dianggap tak punya tepo sliro dengan lingkungan. Ck-ck-ck!
Coba renungkan, pembangunan yang sedang saya laksanakan ini, kan, bukan
semata-mata membangun! Di baliknya ada visi dan misi! Apa itu? Tak lain dan tak
bukan untuk mendorong kita semua, sekali lagi mendorong, kita semua, masyarakat
semua, bukan hanya si Baron ini. Kita semua! Supaya kita semua bersama-sama
serentak, take off, berkembang, maju,
sejahtera, dan nyaman! Masak sudah 69 tahun merdeka kita masih makan tempe
terus! Lihat Korea dong, tebar mata ke sekitar, simak Pondok Indah, Bumi
Serpong Damai, Central Park. Mana ada lagi rumah-rumah BTN yang sangat, sangat
sederhana. Kandang tikus itu bukan hunian orang merdeka! Ah?! Semua sudah
direnovasi habis jadi masa lalu yang haram kembali lagi. Rata-rata sekarang
rumah satu miliar ke atas! Itu baru layak buat rakyat merdeka! Ah?!
Penggalan cerpen berjudul “Protes” karya Putu
Wijaya tersebut merupakan cerpen yang dimuat dalam Koran Kompas, 23 November 2013. Dalam penggalan tersebut
dapat kita lihat bahwa pengarang menggunakan gaya bahasa yang lugas dan mudah dipahami. pemilihan
diksi yang beragam sehingga menambah pengetahuan dan kosakata pembaca. terdapat
juga beberapa ungkapan di dalamnya. Ungkapan berupa kandang tikus, tebar
mata, tepo sliro, take off, dan masih banyak yang
lain.
B. Latihan menentukan sudut pandang cerita.
Tentukan penokohan dari cuplikan-cuplikan
cerpen berikut!
1.
Aku menjawab malu.
“Tidak ke mana-mana, mau makan angin saja, menghilangkan
perasaan sumpek.”
“Kalau sumpek jangan makan angin, nanti tambah pusing.”
Aku ketawa.
“Saya cuma tak habis pikir, Pak Manuel, kok tidak ada yang
berubah. Tiap tahun kita ingin ada perbaikan, tapi akhirnya selalu kecewa.
Ternyata tidak ada masa depan. Kita seperti naik mobil yang bannya kejeblos. Tambah digas, roda muter
makin kencang tapi tetap di situ-situ juga. Sama sekali tak bergerak. Hidup ini
seperti macet. Ya kan, Pak
Manuel?”
Manuel manggut-manggut.
2.
Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan
wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari
di kelir wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya menghancurkan seluruh duka
yang bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku yang sudah patah dan rengat.
Dan baunya bukan main harum. Semerbak sehingga medan pertempuran yang anyir
oleh bau darah itu berubah jadi kamar hotel berbintang sembilan yang sensual.
“Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.
Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang
menyengatkan listrik ribuan voltase itu.
3.
“Bapak paling hebat, Bapak satu-satunya yang memihak anak-anak
muda. Mereka yang lain cuma bisa maki-maki mengumpat kami bandit, karena kami main bola di jalanan. Padahal kami kan main di pinggir jalan, nggak ada
yang main di tengah jalan. Ya kalau mau supaya kami main di lapangan, bikinkan lapangan dong!”
Aku kecewa. Bukan itu yang aku harapkan. Ternyata petuahku tidak
terlalu diperhatikan. Anak-anak itu lebih suka hadiahnya.
Sampai di rumah aku sambat.
“Sebagus apa pun pelajarannya, tapi kalau yang menerima otaknya
batu, tidak akan ada gunanya. Mubazir semua! Payah!”
Istriku heran.
“Maksudnya?”
“Ya begitulah mereka itu. Diajak rembugan, nggak ada
yang ngarti! Bagaimana bisa hebat kalau tidak pakai otak? Main bola
itu kan bukan sekadar menyepak bola,
tapi pakai taktik, strategi, pakai perhitungan. Memerlukan kecerdasan! Nggak cuma
kekuatan. Ngawur! Lihat Spanyol!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar