Kartini Menawan di Tengah Revolusi
www.google.com |
Larasati
Pramoedya Ananta
Toer
Copyright
Pramoedya Ananta Toer 2003
All rights
reserved
Diterbitkan dan
diluaskan oleh
Lentera
Dipantara
Multi Karya
II/26 Utan Kayu, Jawa Timur, Indonesia 13120
ISBN: 979-97312-9-5
Terdiri dari 180 halaman
Pramoedya Ananta Toer lahir pada tahun
1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam
penjara – sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia-manusia
bermartabat: 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun
yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, pulau Nusa-kambangan Juli
1969-12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses
pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI tetapi
masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan Negara sampai tahun 1999
dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2
tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, diantaranya Tetralogi
Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Buku
ini bercerita tentang seorang tokoh utama yang bernama Larasati. Cerita ini
mengambil tempat pada zaman revolusi 1945-1950 yang sangat menarik. Pramoedya
Ananta Toer telah berhasil menggambarkan situasi dan kejadian-kejadian yang
pada saat itu mengambil tempat. Dengan gaya bahasanya yang sering menggunakan
istilah-istilah dari bahasa daerah (jawa, misalnya “klonyok”) akan sulit
dimengerti oleh orang-orang yang tidak datang dari daerah tersebut. Pramoedya
juga sering menggunakan istilah-istilah zaman penjajahan Kolonial Belanda
seperti “NICA“ (Netherland-Indies Civil Administration) dan “RVD“ (Regerings Voorlichting Dienst) yang
bagusnya penerbit memberikan catatan kecil pada halaman tersebut. Penulisan
dari buku ini masih menggunakan istilah-istilah bahasa Indonesia lama. Sayangnya dalam
buku ini Pramoedya juga mengkritik dengan keras tentang seorang Indonesia yang
bekerja untuk Belanda. Hanya saja kritikan itu terlalu keras sehingga keluar
kata-kata kasar yang diucapkan oleh seorang Larasati.
Adapun
tokoh Larasati yang diceritakan sebagai bintang film Ara. Awalnya ia diceritkan
ingin datang ke Jakarta untuk menemui ibu kandungnya. Larasati diceritakan
sebagai tokoh yang berani, penuh semangat api revolusi, yakin dan percaya diri.
Namun, entah mengapa ditengah alur cerita. Larasati berubah menjadi seorang
yang sentimental. Penuh rasa. Sehingga menjadi tokoh utama yang lemah. Sebagai
contoh mulai pada halaman 97. Pramoedya mulai menggambarkan sisi lembut
Larasati secara perlahan dengan pemicu yang sedikit namun pasti. Dari situ kita
dapat melihat Larasati yang pergi bertempur bersama 3 pemuda. Mereka pergi ke
sebuah perempatan yang nantinya akan dilewati oleh konvoi tentara Belanda.Menyelinap
lewat gorong-gorong got warga setempat. Mengendap, mengintip dan menunggu
hingga konvoi itu datang. Lalu, mulai dari situ Larasati digoyahkan pilihannya.
Pergi
ke lapangan, bertempur bersama 3 pemuda. Dengan suara gemetar, ketika ia
ditanya oleh si pemuda. Dari situ kita dapat
mengenal betul bahwa ada sisi halus dan takut yang muncul ketika Larasati harus
berhadapan langsung − bertempur demi revolusi. Namun setelah pertempuran itu
berakhir. Mulai lagi muncul sisi berani dan tangguh seorang bintang film Ara
ini. Ia terlihat kuat. Ketika ia ditawarkan pertolongan pada luka granatnya. Ia
juga terlihat berani. Ketika ia sedang diinterogasi oleh salah satu opsir
tentara Belanda.
Sejauh dari penulisan kebahasaan dan
penokohan dari tokoh utama. Pramoedya berhasil menulis buku yang menjadikan
seorang perempuan sebagai tokoh utama. Tidak mudah bagi seorang penulis novel
untuk menulis cerita yang memiliki tokoh utama seorang perempuan. Terutama
dengan cerita yang bertemakan revolusi.
Nilai-nilai yang dapat dipetik dalam
novel ini adalah keberanian dan semangatnya seorang Larasati ditengah
pertempuran revolusi 1945-1950. Meski ia hanyalah seorang perempuan yang kental
dengan seni. Ia tetap mau berjuang demi bangsanya melalui perang angkat senjata
dan perang melalui jalan seninya. Pada saat itu, masa revolusi 1945-1950.
Larasati, ia diceritak sebagai perempuan yang dapat mengharumkan nama bangsa
melalui karyanya sebagai bintang film. Berkali-kali ia tampil dihadapan
orang-orang besar dari Belanda. Menampilkan seni Indonesia yang membawanya
menjadi dirinya seorang bintang film Ara. Ia
tak pernah lelah. Ia tak pernah lupa. Ia lahir dimana; ditanah mana. Ia pun tak
lupa pada siapa yang melahirkan dirinya.
Apaan sih?
BalasHapusSangat menginspirasi ,cocok untuk dibaca karna ceritanya mengangkat seorang perempuan yang berani bertempur untuk Indonesia agar pandangan masyarakat Indonesia bisa berubah bahwa perempuan itu tidak lemah.
BalasHapusTerima kasih, Kak
Hapus