Rumah Kebajikan
(Kelenteng Boen Tek Bio)
(Kelenteng Boen Tek Bio)
18
Februari 1998
Matahari
menutup senyumnya menjelang senja. Panas terik diganti angin sepoi – sepoi yang
mengelus pipi. Biru langit pudar digantikan warna merah gelap. Kelenteng Boen
Tek Bio sepi sudah. Loa Hay Yang menjalankan rutinitas seperti biasanya sebagai
penjaga kelenteng dan seorang Buddha yang saleh. Menyapu dan membersihkan
kelenteng. Tak lupa meletakkan hio terakhir sebagai ucapan syukur di genta.
Asapnya membumbung ke angkasa. Ia menyukai rutinitas penghujung harinya itu.
Namun kini, sukacita di hatinya pudar hari demi hari, seolah ikut tenggelam
bersama mentari.
Loa
Hay Yang duduk termangu di halaman. Sebuah lonceng tua yang elok tergantung di
halaman kelenteng Boen Tek Bio.Konon, lonceng apik itu berasal dari negeri Tiongkok
dan dibuat tahun 1835. Juga ada patung singa penjaga (Ciok-say) serta tempat
pembakaran kertas sembahyang (Kim Lo) berbentuk cukup antik yang dibuat pada
sekitar abad ke-19. Senyum sedih menghiasi wajah Loa Hay Yang. Ia berharap, ia
bisa menutup mata untuk terakhir kalinya tanpa harus melihat kelenteng
bersejarah ini runtuh, terbakar, dan hal buruk lainnya yang bisa terjadi.
“Hay
Yang...” suara lembut menyapanya.
“Bhante..”
jawab Loa Hay Yang dengan sopan.
Biksu
Lin Guang Liang duduk di sebelah Loa Hay Yang sambil tersenyum. Aura bijak
terpancar dari biksu berumur 60 tahun ini. Beliau berasal dari desa Huaxi di
Tiongkok dan sudah mengabdikan dirinya di kelenteng Boen Tek Bio selama 20
tahun terakhir.
“Saya
lihat, akhir – akhir ini kamu murung terus. Ada apa sebenarnya? Apakah ada yang
tidak beres?” tanya biksu Lin Guang Liang.
Loa
Hay Yang menghela nafas. “Saya khawatir Bhante... kondisi negara ini, secara
politik, sosial, terutama ekonomi sedang tertekan. Banyak warga pribumi yang
menentang keberadaan kita, kaum Tionghoa. Saya khawatir dengan kondisi kita,
terutama kelenteng ini. apa yang harus kita perbuat jika kelenteng ini digusur?
Apakah kita harus kembali ke negara asal kita?”
Biksu
Lin Guang Liang hanya tersenyum simpul. “Jangan mengkhawatirkan hal – hal yang
belum tentu terjadi Hay. Kewajiban kita adalah terus berdoa pada Dewi Kwan Im.
Kita minta petunjuk dan rahmat serta perlindungan dari-Nya. Juga kepada Hok Tek
Tjeng Sien (Dewa Bumi) agar memberkati ekonomi bangsa ini. Selain itu, jika ada
warga yang menentang, kita harus tetap berbuat kebajikan terhadap mereka.”
Loa
Hay Yang tersenyum. Meski kekhawatirannya tidak seluruhnya luruh, ia menjadi
tenang berkat penghiburan dari Biksu Lin Guang Liang yang sangat dihormatinya
itu. Ia berharap segala sesuatunya berjalan dengan baik.
20
April 1998
Kelenteng
kosong pengunjung hari ini. Hujan deras mengguyur kota Tangerang. Dari pagi
hingga siang, langit bagaikan mengamuk tak henti. Petir menyambar – nyambar
bumi. Suaranya menggelegar bak rasksasa. Loa Hay Yang sibuk mengepel halaman
depan yang basah terkena cipratan air hujan. Ia berharap hujan akan segera
berhenti. Dari kejauhan, ia dapat melihat jalanan sudah tergenang air sampai ke
mata kaki. Ia berharap banjir tidak akan terjadi.
Menjelang
sore, bukannya berhenti, hujan badai malah mengamuk semakin dahsyat. Air hujan
menampar – nampar jendela. Petir yang menggelegar memekakkan telinga. Ketika
itu, air di jalanan sudah tergenang sampai ke betis. Di dalam kelenteng, hanya
ada Loa Hay Yang si penjaga kelenteng beserta Biksu Lin Guang Liang. Raut wajah
sang biksu datar, sulit dibaca.
“Banjir!
Banjir datang! Cepat mengungsi!”
“Tolong!
Tolong kami!”
“Banjir
datang! Naik ke atap rumah segera!”
Terdengar
suara warga sekitar yang berteriak bersahut – sahutan. Loa Hay Yang sudah
hendak membuka pintu kelenteng untuk memeriksa keadaan. Tapi kemudian ditahan
oleh sang Biksu yang sedari tadi diam seribu bahasa.
“Mari
kita sembhayang.” Ujar sang Biksu pelan.
Loa
Hay Yang bingung, namun tetap mengindahkan kata – kata dari sang biksu. Ia dan
Biksu berdoa memanjatkan harapan dan meminta perlindungan kepada Dewa dan Dewi.
Entah berapa lama mereka sembhayang secara khusyuk sedangkan suara ramai terus
terdengar di luar kelenteng. Mereka berdua tetap berdoa dan terus berdoa sampai
akhirnya hujan reda dan tak terdengar apa – apa lagi ketika mereka selesai.
Mereka bangkit dan hendak keluar untuk memeriksa keadaan.
Baik
Loa Hay Yang maupun Biksu Lin Guang Liang sama – sama terkejut ketika mereka
berada di luar. Banjir sudah surut kembali, namun warga berkumpul di depan
kelenteng Boen Tek Bio. Mereka berbisik – bisik satu sama lain. Wajah mereka
menyiratkan raut tanya dan penasaran. Salah satu dari mereka, seorang warga
pribumi, menghampiri Loa Hay Yang dan Biksu.
“Apakah
kalian berdua di dalam tadi?”
“Ya,
kami ada di dalam.” Jawab Biksu Lin Guang Liang.
“Kalian
tidak tahu apa yang terjadi?” tanya orang tersebut lagi.
“Itulah
yang hendak kami tanyakan, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa warga berkumpul
di depan kelenteng?” Loa Hay Yang balas bertanya.
Orang
tersebut tampak terkejut, namun menjawab, “Banjir sudah sampai sepinggang
selama kalian di dalam. Dari atap rumah, beberapa dari kami dapat melihat
kelenteng. Banjir tampaknya tidak mengusik bangunan ini. Airnya mengalir terus
dengan deras, namun melewati kelenteng begitu saja. Hal tersebut sangat aneh.
Rumah kami semua tersapu banjir, tapi bangunan ini, seolah – olah ada tembok
yang menghalanginya!”
Loa
Hay Yang tidak dapat berkata – kata. Sebaliknya Biksu Lin Guang Liang mengucapkan
terimakasih pada warga tersebut dan mengatakan akan menerima mereka yang
terkena musibah dengan tangan terbuka di kelenteng serta bersedia membantu
meringankan beban warga. Dalam hati, baik Loa Hay Yang maupun sang Biksu sangat
bersyukur dan meengucapkan terimakasih kepada Dewa Dewi.
2
Mei 1998
Kondisi
ekonomi negara Indonesia kian memburuk. Berita kerusuhan terjadi dimana – mana.
Beberapa lokasi dibakar dan dihancurkan. Korban jiwa berjatuhan. Warga pribumi
menyerbu dengan ganasnya. Loa Hay Yang tahu, tak berapa lama lagi, kelenteng
Boen Tek Bio akan menjadi sasaran warga yang mengamuk. Dan akhir – akhir itu,
ia bersama Biksu Lin Guang Liang bersembhayang lebih banyak dibanding biasanya.
Sore
hari tiba. Loa Hay Yang sedang membereskan beberapa barang ketika terdengar
suara riuh. Awalnya ia mengabaikannya. Namun lama kelamaan suara – suara
tersebut semakin keras. Suara orang – orang yang berteriak dengan marah. Sang
Biksu menghampirinya tanpa berkata – kata. Loa Hay Yang tidak cukup berani
untuk keluar dari kelenteng. Ia melongokkan kepalanya keluar dari jendela. Dari
kejauhan, ia melihat keramaian orang yang berteriak – teriak. Hampir semuanya
membawa sesuatu di tangannya. Benda panjang, jirigen minyak, dan lain
sebagainya. Dengan wajah pucat, ia memberi tahu apa yang ia lihat pada Biksu
Lin Guang Liang.
“Mungkin
sebaiknya kita bersembunyi Bhante.” Kata Loa Hay Yang dengan ketakutan.
Sang
Biksu menggeleng. “Mari kita berdoa.” ujarnya. Loa Hay Yang tidak membantah
perkataan tersebut.
Mereka
berdoa dan terus berdoa meminta perlindungan dari Dewa Dewi. Sementara itu,
suara – suara diluar semakin keras dan akhirnya menjadi sangat keras. Baik Loa
Hay Yang maupun Biksu Lin Guang Liang tidak menghentikan doa mereka. Suara
orang – orang yang berteriakan dan derap langkah yang keras terdengar begitu
jelas. Loa Hay Yang sangat ketakutan, namun tak menghentikan doanya.
Tak
berapa lama, suara – suara tersebut hilang bagaikan ditelan angin. Mereka
menghentikan doa mereka dan memberanikan diri keluar dari kelenteng. Hal yang
sama dengan beberapa bulan yang lalu mereka dapati. Warga setempat berkumpul di
depan kelenteng Boen Tek Bio. Salah seorang warga menghampiri mereka dengan
raut wajah heran dan terkejut.
“Apa
yang terjadi?” tanya Biksu.
“Ada
beberapa orang tak dikenal yang datang dan merusak beberapa rumah kami.
Kemudian mereka mengancam kami dengan bertanya apakah ada
kelenteng disini. Kami terpaksa memberi tahu mereka karena cepat atau lambat
toh mereka pasti akan menemukannya. Mereka berlari menuju kelenteng, tapi kemudian
melewatinya begitu saja seolah – olah tidak melihatnya. Hal tersebut rasanya
mustahil.”
Kembali
Loa Hay Yang dan Biksu Lin Guang Liang diselamatkan lagi dari musibah. Mereka
mengucap syukur kepada Dewa dan Dewi atas perlindungan yang diberikan selama
ini. Kelenteng Boen Tek Bio masih berdiri tegak hingga sekarang. Kelenteng
tersebut merupakan bangunan yang bersejarah dan merupakan tempat ibadah bagi
orang – orang beragama Buddha yang tinggal di Tangerang.
.