Legenda Kota Pandeglang
Pada zaman dahulu kala, di sebuah
desa yang damai ada sebuah
tradisi yang harus dijalani setiap tahunnya. Tradisi itu mengharuskan setiap
warga desa untuk menyisihkan seperempat dari hasil panen mereka untuk di persembahkan kepada
dewa mereka yang dipercaya selalu melindungi dan memberkahi desa itu.
Namun, seiring berjalannya tahun
dan generasi, perlahan tradisi tersebut mulai dilupakan. Sampai
akhirnya hanya ada sebuah keluarga yang masih menjalankan tradisi tersebut. Hari panen pun tiba, keluarga itu
membawa seperempat bagian dari hasil panen mereka dan mempersembahkannya ke kuil
dewa tersebut.
Pada saat mereka memanjatkan doa,
tiba-tiba langit berubah menjadi gelap dan terdengar suara gemuruh yang sangat nyaring.
“Beginikah balas budi kalian atas apa yang telah kulakukan
kepada kalian?!”
Terdengar sebuah suara yang menggelegar dari langit, suara tersebut membuat keluarga yang
sedang berdoa itu
ketakutan. “M-maafkan
kami, kami hanya mengikuti tradisi. Da-dan hanya inilah yang kami punya.” Balas
sang kepala dari keluarga tersebut dengan terbata, seketika itu angin yang
kencang bertiup di sekeliling kuil tersebut.
“Baiklah! Sesuai dengan perjanjian yang leluhur
kalian telah buat, maka tidak
akan ada lagi berkah di atas di desa ini! Tugasku sudah selesai, biarlah
kalian semua menderita!” Lanjut suara misterius tersebut dengan murka. Seketika itu, keluarga tersebut panik dan memohon bahkan
bersujud dengan harapan agar sang dewa mau memberi ampun, akan tetapi suara
mereka tidak berarti di telinga sang dewa yang sudah tak terdengar lagi
suaranya.
Cerita
tentang murkanya sang
dewa tersebar dengan
sangat cepat di seluruh desa.
Namun, mereka
tidak peduli dengan kutukan tersebut,
dan berpikir bahwa hal tersebut hanyalah sebuah ancaman belaka. Akan tetapi, bulan sudah berganti bulan
bahkam
tahun pun sudah merubah nilainya. Hujan
tidak pernah turun, sungai di beberapa tempat pun mulai kering dan
ladang pun seperti enggan untuk menumbuhkan tanaman. Mereka pun akhirnya sadar
bahwa kutukan tersebut benar adanya, semua berkah atas desa tersebut lenyap bak
ditelan bumi.
Terlihat tiga orang remaja sedang berbincang-bincang
di tengah ramainya pasar di pagi itu. ‘Pande’ itulah sebutan bagi mereka, tiga orang remaja yang terkenal pintar.
“Apakah kalian tahu? Desa kita ini dikutuk selamanya.” Ucap seorang gadis berkepang
dua yang sedang membuat sebuah
anyaman. “Tentu
saja aku tahu....” Jawab
seorang remaja pria yang duduk di sebelah kanannya. “Hei! Kalian tahu tentang legenda gelang ajaib?” Ujar
sesosok lelaki yang duduk di sebelah kiri gadis tersebut. Ucapannya tersebut membuat kedua temannya hanya
saling berpandangan lalu menatapnya lagi.
“Kau
kenapa Nanggala? Mencoba mengingat masa kecil?” Tanya remaja di sebelah
kanan gadis tersebut. “Tunggu
dulu Kananga! Aku
juga sebenarnya
tidak tahu
pasti, tapi aku berharap benda itu benar-benar ada.” Balas Nanggala sambil
tersenyum.
“Sebenarnya aku pernah mendengar tentang keberadaan
gelang ajaib tersebut.” Gadis berkepang dua tersebut akhirnya bersuara, Kananga
dan Nanggala menatap tak percaya. “Benarkah Saruni?!” Tanya Nanggala dengan
semangat, Saruni mengangguk mengiyakan. Kananga yang heran bertanya mengapa
Nanggala begitu bersemangat.
“Tidakkah itu jelas? Gelang tersebut bisa mengabulkan
berbagai macam permohonan. Jika kita menemukannya, bukankah desa bisa kembali
makmur?” Ujar Nanggala yang dibalas dengan ekspresi terkejut Saruni dan
Kananga. Nanggala pun bertanya kepada Saruni di mana gelang tersebut berada.
“Tapi aku tidak tahu ini benar atau tidak, pernah
beredar bahwa gelang tersebut berada di sebuah gua di gunung di dekat kuil-“
“Hei bukankah gunung itu sangat berbahaya?” Potong
Nanggala. Saruni mengangguk dan melanjutkan. “Oleh karena itu, tidak ada yang
berani mencarinya dan akhirnya banyak yang berkata kalau itu semua adalah
kebohongan.” Tiba-tiba Nanggala berdiri dan menatap kedua sahabatnya itu.
“Ayo kita cari gelang itu!” Ujarnya lantang. “Kau
sudah kehilangan akal sehatmu ya?! Kita bisa mati tahu!” Ujar Kananga dengan
geram namun diacuhkan Nanggala. “Ayolah Kananga, ini untuk desa kita juga. Kau
juga Saruni.” Bujuk Nanggala namun Kananga hanya menatap sinis. Saruni yang
memang merupakan gadis pemberani pun setuju. Akhirnya setelah Nanggala dan
Saruni mencoba meyakinkan Kananga, akhirnya ia pun setuju walau tidak tulus
sepenuhnya.
Siang harinya mereka pun merencanakan untuk pergi ke gua
tersebut,
sebelumnya mereka
memberi tahu kepala desa perihal keinginan mereka tersebut. Walaupun sulit
dipercaya, kepala desa mengijinkan mereka untuk pergi. Mengingat desa sungguh menderita dan mereka juga adalah anak-anak pintar yang pasti
bisa menjaga diri.
Siang terik itu mereka berjalan mendaki
gunung tersebut dengan dipimpin Nanggala.
Mereka berjalan berjam-jam lamanya hingga Saruni mulai merasa lelah dan duduk
di sebuah batu besar. Kananga yang kasihan terhadap Saruni pun mengusulkan
untuk beristirahat terlebih dahulu.
“Puncaknya sudah sangat dekat kawan! Jangan buang-buang waktu!” Ujar
Nanggala. Saruni
sedikit menggerutu karena ia tidak sekuat anak laki-laki. Akhirnya
mereka terus
berjalan sampai akhirnya
menemukan sebuah pondok kecil yang masih terawat. Saruni pun mengusulkan
untuk menumpang istirahat di pondok tersebut. Namun Nanggala dengan kukuh
menolak.
Saruni
tidak peduli mendekati
pondok itu diikuti Kananga
di belakangannya. Mereka mengetuk rumah itu beberapa kali, tetapi tetap tidak
ada jawaban. Karena
tidak mendapat jawaban dari rumah itu, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan
mereka. Tanpa mereka sadari seseorang tengah memerhatikan mereka dari kejauhan.
Hari semakin larut, dan perjalanan
menuju puncak gunung itu pun tidak ada tanda sudah mau dekat. Karena kelelahan, akhirnya mereka sepakat untuk
beristirahat dan membuat perapian untuk menghangatkan tubuh mereka. Disaat
teman-temannya sudah terlelap,
Kananga berjalan ke arah
sungai untuk mengambil air. Saat sedang mengambil air, tiba-tiba bahunya
ditepuk oleh seseorang.
“Apa mau mu?!” Serunya sambil
berbalik dan menatap
orang di belakangnya.“Hei kawan tenanglah! Ini aku.” Ucap orang tersebut. Kananga
pun menghela napas lega. “Nanggala! Kau membuatku terkejut.” Ucapnya sambil berkacak
pinggang.
“Bukannya kau sudah tertidur?” Tanyanya.
“Aku belum sepenuhnya tertidur. Lagi
pula, apa yang kau lakukan?” Nanggala bertanya sambil memperhatikan Kananga dari
atas sampai bawah. “Mengambil air untuk keperluan
besok.” Jawab Kananga sambil mengangkat botol
yang ia pegang.
“Oh, baiklah. Aku akan kembali ke perkemahan.” Nanggala berkata sambil membalikkan
badannya,
akan tetapi dengan cepat Kananga menahan bahunya.“Nanggala!
Bagaimana-” Kananga
dengan tiba-tiba memotong kalimatnya, Nanggala menatap heran dan menyuruhnya
segera berbicara.
“Begini... Bagaimana kalau gelangnya nanti kita pakai saja untuk
keperluan kita.”
Kata Kananga sambil menelan ludah, tanpa sadar ia mencengkram bahu
Nanggala. “Ka-Kau itu bodoh ya?! Kita mencari gelang itu
untuk keperluan desa kita!”Nanggala melepas cengkraman
tangan Kananga.
“Itu kesalahan mereka! Mereka
bodoh te-” Balas Kananga tidak mau
kalah namun perkataannya dipotong oleh sebuah suara. “Hei! Aku mencari kalian
tahu! Kenapa meninggalkan aku sedirian?” Seru Saruni
sambil setengah berteriak. “Ayo
kembali! Kita harus berjalan lagi
besok.” Nanggala
berkata sambil berlalu tanpa memandang Kananga. Mereka pun kembali tertidur.
Pagi pun tiba, mereka memulai pagi dengan
penuh semangat tanpa terkecuali Saruni. Mereka terus berjalan sampai ke puncak gunung itu, tetapi mereka tidak menemukan
apa pun disana. Mereka
yang
kelelahan akhirnya
beristirahat di bawah sebuah pohon.“Sudah ku bilang, gelang itu hanya omong
kosong saja!”
Gerutu
Kananga sambil mengelap wajahnya yang penuh keringat dengan sebuah kain. “Tapi kita belum sepenuhnya
mencari.” Balas Saruni.
“Terserah kalian saja! Aku sudah lelah dengan semua omong
kosong ini!” Seru
Kananga
sambil beranjak dari tempat mereka duduk. “Kita sudah membuang waktu kita di
gunung ini, dan lihat kita pulang dengan tangan kosong!” lanjutnya dengan suara
yang lebih
tinggi dari sebelumnya.
Karena
ucapan Kananga mereka pun dengan terpaksa memilih untuk meninggalkan tempat itu. Di tengah kegiatan mengemasi barang, terdengar geraman asing di belakang mereka. Geraman
halus itu seketika hilang
saat mereka menolehkan kepala. Mereka
terus mencari asal suara itu, namun nihil. Sesaat mereka sempat berpikir,
apakah suara itu berasal dari binatang buas atau hanya binatang kecil seperti
kucing hutan. Di tengah
kegiatan mereka, Saruni beristirahat sejenak lalu mengambil minum. Saat
mengambil air Saruni dikagetkan dengan sosok besar berjubah hitam, bertubuh
tegap, dan bertanduk.
Dengan hati-hati ia mendekati sosok
itu. “Siapa
kau?” Tanyanya
dengan suara pelan dan sangat hati-hati, tetapi mahluk itu hanya membalas
dengan geraman. “Untuk
apa kau kesini?” Tanya
Saruni lagi, tapi tetap dibalas dengan geramannya.
“Saruni
menjauhlah!” seru Nanggala dari arah yang berlawanan. Dengan tangkas Saruni
langsung menjauhkan diri dari mahluk itu, dan setelah itu mahluk itu tertawa
dengan sangat keras.
“Apa yang kalian butuhkan?” Akhirnya mahluk itu
bersuara.“Ka-Kami
butuh gelang ajaib untuk desa kami,” jawab Nanggala dengan
sedikit terbata-bata.“Wah... Kalian harus
menggunakannya dengan bijak!” Ucapnya
sambil bergerak mendekati mereka, yang membuat
mereka langsung
bergerak mundur. Ia
tertawa lagi, dan langsung menunjuk sebuah batu besar di ujung tempat itu lalu
menghilang tanpa bekas.
“Apakah tempat itu tidak berbahaya?” ucap
Nanggala sambil berjalan kearah batu itu. Saruni mengagguk dan menjawan bahwa tempat tersebut
terlalu curam. “Tapi
kita harus mendapatkannya!”
Ujar Kananga dengan percaya diri dan berjalan mendahului Nanggala.
Tanpa menahan diri, Kananga memasuki goa
yang terlihat sangat lembab dan sempit itu.
Nanggala dan Saruni mengikuti di belakang. Ia menemukan sebuah batu yang
terlihat mengkilat lalu tanpa pikir
panjang mengambilnya.
“Aku yakin di dalam ini terdapat
gelang yang kita cari.” Ucap Kananga sambil memegang batu tersebut di
tangannya. “Kananga, letakkan
batu itu
karena gelang yang kita cari
ada di ujung sana.”
Balas
Saruni sambil menunjuk sebuah gelang yang bersinar. Kananga meletakkan
batu tersebut dan langsung mengambil gelang yang ditunjuk Saruni. Ia pun
langsung berjalan
keluar goa, namun pergerakannya itu ditahan
oleh Nanggala.
“Jangan bilang kau akan meluncurkan
aksi bodoh mu itu?”
Tanya
Nanggala dengan raut wajah yang sulit untuk diartikan. Pertanyaannya tersebut dijawab oleh tawa renyah
Kananga. “Kita sudah mencarinya susah
payah, jadi hasilnya harus jadi milik kita bukan mereka.” Balas
Kananga. Saruni
berjalan mendekati Kananga lalu menatapnya dengan tatapan penuh arti. Kananga menghela nafas
berat lalu menatap Nanggala.
“Aku tidak akan semudah itu
memberikan hasil jerih payah ku,” ucap Kananga sambil bergerak menjauhi
mereka.“Kau tidak mencari itu sendirian Kananga! Kita perlu itu untuk desa kita!”
seru Nanggala. Kananga
tersentak, tapi ia hebat dalam memainkan mimik wajahnya. Ia hanya tersenyum dan
mencoba lari namun Saruni menendang kakinya.
“Arghh!” Erang Kananga. “Kalian
jangan berlaku bodoh! Desa itu tidak berbuat banyak pada kita!” Serunya sambil berusaha berdiri.
Tanpa basa-basi Nanggala langsung memegang gelang yang ada di tangan Kananga. Mereka bersungut-sungut
untuk mendapatkan gelang itu. Saat hendak menarik gelang itu Kananga
tergelincir dan jatuh ke
tebing di dekat gua
itu, beruntung ia berhasil berpegangan pada ujung tebing tersebut.
Saruni panik melihat temannya berada
di ujung kematian,
berbeda dengan Nanggala yang masih dikuasai emosi. “Kemarikan tanganmu!” seru
Saruni pada Kananga namun Kananga menolaknya mentah-mentah. Saruni tetap berusaha
menolong temannya itu, namun Kananga terus menolaknya. Setelah
sadar akan situasi,
akhirnya Nanggala membantu Saruni untuk menolong Kananga tetapi saat hendak
menggapai tangan Kananga, Kananga reflek
menjauhkan tangannya dan mengakibatkan dirinya terjatuh dari tebing yang sangat
tinggi.
Teriakan
Saruni dan Nanggala memenuhi setiap inci udara, mereka melihat bagaimana
Kananga hilang ditelan kegelapan tebing. Jeritan kesakitan Kananga pun
perlahan menjadi sayup-sayup hingga akhirnya hilang. Dengan wajah penuh penyesalan dan
duka, mereka berdua kembali ke desa. Sesampainya di desa mereka langsung
menemui kepala desa dan menceritakan semua yang telah terjadi. Akhirnya desa mereka melakukan
upacara untuk memohon pada gelang itu agar desa mereka bisa kembali
seperti dahulu.
Tidak lama dari itu turunlah hujan yang sangat lebat, sungai
mulai terisi kembali dan ladang kembali dipenuhi sukacita. Warga desa sangat berterimakasih
pada trio Pande. Untuk mengenang kepergian Kananga, mereka melakukan upacara pelepasan Kananga. Saruni
dan Nanggala menatap langit dan melihat goresan pelangi di angkasa, mereka
percaya bahwa lewat itu Kananga meminta maaf pada mereka dan berterima kasih.
Saruni dan Nanggala tersenyum menatap pelangi tersebut seolah mengucapkan salam
perpisahan kepada Kananga.
Sejak saat itu desa mereka merubah
nama menjadi Pandeglang, dimana ‘Pande’ dipilih untuk menghargai jasa trio
Pande dan ‘gelang’ dipilih karena benda itulah yang membawa mereka ke
kemakmuran.