Apakah
Hidupmu seperti Hidupku?
Pagi ini adalah hari yang cerah dan penuh
semangat. Telah semalaman aku tidur nyenyak bersama teman-teman yang lain dalam
sebuah tempat yang sangat kasat mata oleh orang lain. Kini aku siap membantu
seseorang, pastinya dia, yang empunya tempat di mana aku tinggal, walaupun aku
enggan beranjak dari tempatku.
Inilah hari pertama aku dibawa ke sekolah
olehnya. Dengan sedan hitamnya akhirnya aku tiba di sekolah. Kudengar hiruk
pikuk suara anak-anak.
“Pagi, Riri, tumben datang pagi. Biasanya
selalu aku duluan,” kata seseorang yang amat dekat denganku.
“Iya nih, soalnya ada beberapa materi yang
belum aku pahami. Biasalah … aku mau tanya-tanya dulu sebelum akhirnya harus
berkutat dengan soal. Hehehe ….” jawab anak yang bernama Riri.
Setelah beberapa saat mereka berdiskusi.
Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Itu artinya semua anak wajib untuk berbaris
di depan kelas dan mulai masuk satu per satu untuk duduk manis mengerjakan
soal-soal ujian.
“Semoga soalnya tidak sulit, deh,” celetuk seseorang di belakangku.
Setelah soal dibagikan, suasana hening.
Aku terkejut karena tiba-tiba sebuah tangan menarikku dari tempat istirahatku.
Oh, ternyata sudah waktunya untuk bekerja.
Seseorang memegang erat diriku,
seolah-olah takut bila aku melarikan diri dari tangannya. Tapi walau sakit
badanku, aku tak marah karena yang memegangku adalah tangan seorang gadis belia
nan rupawan. Tangan itu begitu putih dan lembut. Sepertinya anak ini rajin
merawat diri terlebih tangannya. Ya, paling tidak selalu mencuci tangan dengan
sabun atau menggunakan lotion di
tangannya. Hm … atau mungkin anak ini tidak pernah bekerja kasar termasuk
pekerjaan rumah tangga. Ah … yang penting tangannya halus dan nyaman menempel
di tubuhku. Lihat!! Kukunya pendek-pendek dan rapi. Rupanya anak ini bukan tipe
pemelihara kuku panjang aliran Mak Lampir. Bahkan tak ada setitik tinta pun
menodai salah satu kukunya. Bersih. Ruas-ruas jarinya ideal, kurus dan panjang,
sangat cocok dengan kukunya yang berbentuk buah petai.
Tengah mengaguminya, aku terkejut karena
badanku bergulir ke bawah sejajar dengan meja. Ya, aku dilepaskannya hati-hati.
Kulihat dia tampak serius mengeja kata yang tercetak di kertas. Setelah itu, ia
tampak merenung beberapa saat, aku tak berani mengganggu, bergerak pun aku
takut. Aku diam dalam ketenangan. Tiba-tiba dengan muka cerah ia mulai menyentuhku
lagi kali ini. Aku bersorak! Inilah waktu yang tepat untuk mengetahui
aktivitasku. Aku digenggamnya lalu diajak untuk mendekati sebuah bulatan kecil
warna biru yang berdiameter 3 mm, di tengahnya terdapat tinta berwarna biru
yang mencetak huruf B. aku mulai menjejakkan tubuhku di atas lingkaran itu,
lalu aku berputar-putar kira-kira 15 kali. Hasilnya dalam beberapa detik
lingkaran itu menjadi hitam dan semua tertutup oleh pekatnya kegelapan.
Aku pusing. Badanku limbung. Beruntungnya
aku karena masih dalam genggamannya kalau tidak aku bisa langsung berguling-guling
di dasar meja bahkan di lantai. Belum sempat aku menyesuaikan diriku, tiba-tiba
aku harus mengulangi hal serupa yaitu memberi kegelapan pada tiga lingkaran
lagi. Bisa dibayangkan, aku harus mengalami pusing tiga kali lipat dari semula.
“Seberat inikah sebuah pekerjaan?” keluhku. Tapi mendadak rasa itu hilang saat
kulihat dia tersenyum puas. “Apakah pekerjaanku sempurna?” tanyaku dalam hati. Mungkin
begitulah adanya tapi kurasa itu semua tak sebanding dengan penderitaanku saat
ini.
Kini aku kembali dalam sentuhannya, kali
ini aku tak dilepaskan. Dia sudah menekuni kertas di hadapannya lagi. Aku
bergoyang-goyang dalam tangannya tapi dia tak memperhatikanku. Beberapa menit
kemudian ujung tubuhku memukul-mukul pipi dan dagunya. “Hei, apakah kau tak
merasa sakit?” batinku. Dia diam saja seolah tak peduli mukanya menjadi sasaran
tendanganku dalam genggamannya di udara. Sesaat kulihat ke bawah. Wow …
ternyata ada banyak lingkaran kecil di sana. “Apakah semua akan mengalami
kegelapan? Apakah semua itu berarti pekerjaanku belum berakhir?” tanyaku dalam
hati.
Setelah itu aku dibawa masuk ke sebuah
lorong. Kulihat mesin penggiling tajam dengan permukaan yang sangat mengilap.
“Oh, apa yang akan terjadi pada diriku?” tanyaku penuh ketakutan. Aku ingin
berontak dan lari menjauhi barang itu tetapi apa dayaku. Akhirnya dia mulai
memutar memutar mesin itu. Tubuhku tercabik, susut, dan sakit rasanya. Setelah
beberapa putaran mesin itu berhenti. Aku merasakan perubahan yang terjadi. “Oh,
mataku semakin tajam dan panjang, tetapi tubuhku … panjangnya mulai berkurang,
kepala sudah hampir mendekati kaki. Oh, aku ingin seperti dulu lagi!” jeritku.
Setiap aku berhasil memberi kegelapan pada
tiga lingkaran di bawah, aku selalu memasuki mesin penyusut tubuhku. Saat itu
pula aku ingin berontak dan bebas. Bila perlu ingin kulukai tubuh dan tangan
halus itu dengan mataku yang tajam ini. Biarlah … biar dia juga merasakan sakit
yang kualami. Hilang sudah rasa gembira karena sentuhan kulit tangannya yang
halus dan lembut. Hilang sudah rasa bangga karena sudah berada dalam tangannya
yang indah dan sempurna.
Akhirnya, setelah peristiwa menyakitkan
itu beberapa kali terulang, aku pun sudah mulai bosan mengeluh, menjerit, dan
meratap. Aku malah mengambil sisi baiknya. Bentukku lebih tajam. Walaupun
pendek tetapi aku terlihat semakin kecil dan lucu. Dan yang terpenting aku
dapat membantu orang yang telah sudi menampungku. Mungkin kalau aku boleh
bereinkarnasi, aku akan menjadi barang yang lain selain pensil 2B agar aku juga
tahu kegunaan dan manfaat benda lain tersebut.
Terinspirasi ujian mid semester 1
September 2011
Oleh: M. Leli Wibowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar