Kategori

2019/03/14

Resensi William (Risa Saraswati)

KEHIDUPAN HANTU YANG MENYEDIHKAN



Judul : William
Penulis : Risa Saraswati
Penerbit : Bukune
Cetakan : 2017
Tebal : 216 halaman 

SINOPSIS
  William Van Kemmen, ia adalah teman tak kasat mata Risa. Ia adalah seorang anak kecil yang berasal dari negri Belanda dan pindah ke Hindia Belanda karena mengikuti jejak keluarganya untuk berbisnis. Hidupnya selalu dipenuhi oleh rasa sepi karena ketidakpedulian orangtuanya. Hingga kematiannya datang, barulah ia merasakan kebahagiaan dan memulai hidup yang sebenarnya.

KOMENTAR
            Judul buku ini diambil dari nama asli anakya. Pertama kali dilihat, buku berjudul William ini memiliki sampul yang terlihat misterius dan horror karena diisi dengan gambar William yang memenuhi hampir setengah buku dan dipadukan dengan satu jenis warna yaitu hitam. Karena minimnya warna pada cover inilah yang membuat bayangan-bayangan tentang buku ini pun bertebaran. Tetapi ternyata tidak, buku ini menceritakan perjalanan pilu seorang William. Jenis kertas yang digunakan untuk sampul pun tidak kaku dan sangat lembut sehingga pembaca semakin semangat untuk membaca buku tersebut. Dalam sampul depan juga terdapat sebuah quotes dengan tinta warna putih yang menambah rasa elegan dan misterius.  Kertas yang digunakan pun merupakan kertas yang ramah lingkungan. Sehingga pembaca tidak merasa tertalu tebal dan merasa bosan.

            Masuk ke isi buku, penulis berhasil menuliskan kisah hidup William yang sangat rinci dan lengkap membuat para pembaca penasaran akan bab-bab selanjutnya dan sulit untuk berhenti membaca. Penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dalam setiap bab terdapat kutipan yang membangkitkan semangat ataupun yang menyayat hati. Alurnya yang mengalir dan gaya bahasa yang sederhana membuat pembaca mudah menyerap inti sari yang ingin penulis sampaikan.

            Buku ini tidak hanya menceritakan tentang Willam saja tetapi juga menceritakan keluarganya yang bahkan tidak pernah menganggapnya ada. Dalam buku ini sosok Ibu William yang bernama Maria van Kemmen lebih sering diangkat karena ialah sumber terbesar dari segala cerita kehidupan William yang pilu. Ibu Maria memiliki watak yang sangat bertolak belakang dengan William. Hal inilah yang terus dimunculkan oleh penulis sehingga para pembaca benar-benar merasakan perasaan benci, marah, bimbang yang William rasakan kala itu. Tidak hanya itu, penulis juga sesekali mengingatkan sosok seorang kakek William yang memiliki sifat rendah hati yang sama seperti William. Kedua hal ini yang mendorong rasa penasaran pembaca terhadap kisah-kisah selanjutnya. Sedangkan sosok ayah William digambarkan dengan jelas dan lengkap yang menunjukan bahwa ia adalah seorang ayah yang terlalu mencintai istrinya sehingga apapun yang diinginkan William akan selalu kalah dengan keinginan istrinya. Ia akan merasa sangat bersalah dan sedih jika istrinya harus mengalah demi ia ataupun William. Hal ini juga membuat para pembaca merasa iba sekaligus marah terhadap sosok ayah yang seharusnya lebih tegas dan menjadi tiang dalam keluarga.

            Penulis juga sering mengungkit kegemaran William yaitu bermain biola. Hal ini menjadi penghibur bagi pembaca ketika dilanda kesedihan akan jalan cerita yang pilu. Bentuk biola usang milik William pun dideskripsikan dengan lengkap oleh penulis.

            Keadaan akan kota Batavia dan Bandoeng yang penuh sesak juga dideskripsikan sangat baik oleh penulis. Sehingga pembaca tidak hanya merasakan perasaan yang William rasakan tetapi pembaca seolah-olah dibawa ke masa lampau dimana masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia berlangsung. Mulai dari kata jongos, inlander, Hindia Belanda diperkenalkan kembali kepada para pembaca.
            Saat membaca buku ini, saya benar-benar nyaman dengan pembawaan penulis sulit rasanya berhenti bahkan untuk semenit saja. Halaman demi halaman tidak ada rasanya bahkan setengah hari pun tidak sampai untuk menyelesaikan buku ini. Kisah hidup yang dipenuhi kesepian, sakit hati, marah,kecewa, putus asa benar-benar dapat saya rasakan dan tersampaikan dengan jelas. Saya merasa bahwa penulis benar-benar menyampaikan semua curhatan yang William lontarkan dengan maksimal dengan dukungan latar yang dideskripsikan selengkap  mungkin seakan-akan para pembaca benar-benar menjadi William kedua yang sedang ikut merasakan penderitaan William.

            Tetapi terkadang kutipan-kutipan yang disampaikan penulis kurang sinkron dengan jalan cerita yang sedang berlangsung. Sehingga maksud dari kutipan tersebut kurang tersampaikan dengan sempurna. Hal ini yang membuat pembaca mulai kehilangan penghayatannya.

            Buku ini sangat cocok untuk kalangan remaja umur 14 tahun hingga dewasa karena makna cerita yang sangat dalam dan juga mengangkat sisi kekeluargaan dan persahabatan. Buku ini tidak cocok dibaca oleh anak-anak meskipun gaya bahasanya yang sederhana, tetapi beberapa bagian belum pantas untuk dicerna anak-anak, seperti kepala yang dipenggal, pertengkaran orangtua, kekerasan, cacian, kata-kata kasar. Takutnya anak tidak mengerti maksud sebenarnya dari novel William ini.

Resensi An Abundance of Katherines (John Green)


Cerita Katherine



Judul                                                   : An Abundance of Katherines
Penulis                                                 : John Green
Penerbit                                               : Speak
Tahun terbit                                         : 2006
Hak cipta terjemahan Indonesia         : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit terjemahan Indonesia     : 2014
Tebal halaman                                     : 320 halaman
Ukuran                                                 : 13, 5 x 20 cm                                                                                                                                   
John Green merupakan seorang pengarang novel fiksi dengan genre romantis yang cukup popular di dunia. Ia juga merupakan seorang youtuber, yang mengupload banyak video yang mencakup pendidikan untuk hampir semua kalangan. John Michael Green adalah anak dari Mike dan Sydney Green, yang lahir pada 24 Agustus 1977 di Indianapolis. Sama seperti anak-anak culun pada umumnya, Ia menjadi bahan bully semasa sekolahnya. Tapi itu tidak menghalanginya, Ia tumbuh dan menjadi seorang pengarang novel ternama yang sangat hebat.

Looking for Alaska merupakan novel pertamanya. Novel tersebut memenangkan Printz Award pada tahun 2006 dan berhasil membuat rekor untuk tetap berada di daftar The New York Times Best Seller selama 7 tahun. Pada tahun yang sama, Ia juga menerbitkan buku yang berjudul An Abundance of Katherines. Dua tahun setelah itu, Ia menerbitkan dua buku pada bulan yang sama, yaitu pada tanggal 2 Oktober, Ia menerbitkan buku bersama Maureen Johnson dan Lauren Myracle, yang berjudul Let It Snow: Three Holiday Romances, lalu selang 6 hari setelah itu Ia menerbitkan buku yang berjudul Paper Towns. Paper Towns termasuk salah satu buku John Green yang diadaptasi menjadi sebuah film, dirilis oleh 20th Century Fox pada 5 Juni 2015 di Amerika Serikat. Pada tahun 2010, buku yang berjudul Will Grayson, Will Grayson diterbitkan. Buku tersebut ditulis bersama dengan David Levithan. The Fault in Our Stars adalah buku terakhir yang Ia tulis, namu buku ini merupakan buku pertama John Green yang diadaptasi menjadi sebuah film. Buku ini masuk dalam posisi pertama di daftar The New York Times Best Seller  dan adaptasi filmnya langsung menempati posisi pertama box office sesaat setelah dirilis.

An Abundance of Katherines merupakan buku kedua John Green. Novel ini merupakan publikasi lain yang sukses yang mampu mengumpulkan posisi runner-up untuk Printz Award dan finalis Los Angeles Times Book Prize. Buku ini ditulis dengan narasi dari sudut pandang orang ketiga. Sesuai dengan judul dari bukunya sendiri, buku ini sangat unik dan bisa dibilang satu dari antara jutaan buku. Berbeda dengan novel-novel pada umumnya, buku ini menceritakan kisah percintaan dengan melibatkan ilmu ataupun rumus matematika.

Awal cerita novel ini dibuka dengan persamaan matematika yang membuat pembukaan novel tersebut cukup berat, ditambah lagi dengan alurnya yang bisa dibilang lambat. Tetapi semakin dalam pembaca membaca novel ini, semakin banyak jokes ringan ataupun sarkastis khas John Green yang terdapat pada cerita, dan itu menambah keseruan dan kekonyolan pada novel ini.

Novel ini bercerita tentang seorang anak SMA bernama Colin yang selama hidupnya telah memacari sembilan belas perempuan yang, aneh tapi nyata, semuanya bernama Katherine. Sayangnya, kesembilan belas mantannya tersebut mmencampakkannya, hal tersebut membuatnya merasa begitu sakit hati dan depresi. Hassan, sahabat Collin, pun berinisiatif untuk mengajak Colin pergi selama beberapa hari, mengendarai mobil tanpa tujuan pasti. Hingga ketika mereka tiba di Gutshot, Tennessee, Colin dan Hassan memutuskan untuk tinggal karena hal menarik yang ditawarkan kepada mereka. Bersama cewek bernama Lindsey yang mereka kenal di sana, Hassan dan Colin pun menjalani petualangan yang bisa dibilang cukup dadakan. Di sisi lain, Colin yang masih merasa sakit hati akan putusnya hubungannya dengan Katherine XIX, sedang berusaha untuk membuktikan The Theorem of Underlying Katherine Predictability, dimna ia harap dapat digunakan untuk memprediksi masa depan suatu hubungan.

Alur cerita buku ini maju-mundur. Ceritanya dikemas dengan sangat menarik dimana kita dapat mengetahui masa lalu dari Colin dan juga sifat dari masing-masing Katherine. Kita diajak flashback ke masa-masa tentang bagaimana awalnya Colin dikenal sebagai child prodigy, bagaimana ia bertemu dengan Katherine pertamanya, mengapa ia sangat menyukai anagram, dan masih banyak hal lainnya

Gaya bahasa dari buku terjemahannya sudah cukup bagus. Bahasanya tidak terlalu baku, sehingga mudah dimengerti oleh pembaca.

Sebenarnya buku ini dapat dibaca untuk hampir semua kalangan, hanya saja menurut saya, cerita ini akan lebih pas bila dibaca oleh kalangan remaja, terutama pencinta matematika karena buku ini memuat banyak grafik, anagram dan juga rumus matematika didalamnya. Saat Colin membuktikan The Theorem of Underlying Katherine Predictability, Ia menggunakan berbagai macam formula matematika.

Penulisan karakter untuk buku An Abundance of Katherines ini terasa sangat hidup. Karakter Lindsey yang menurut saya sangat mencerminkan anak muda zaman sekarang, yang kebanyakan setelah mereka tumbuh menjadi remaja, mereka malah berubah, tidak menjadi diri sendiri, namun menjadi seperti yang orang lain harapkan. Ketika menjadi pacar Colin, laki-laki yang menyebalkan dengan badan yang kekar dan tidak begitu cerdas, Lindsey bersikap manis dan manja, dan ketika Ia  berhadapan dengan ibunya, dia bersikap seperti apa yang diinginkan ibunya, begitu juga sikapnya kepada orang-orang lain. Namun pada akhirnya dihadapan Colin, Lindsey dapat menunjukkan sifat aslinya dan menceritakan bahwa sikapnya selama ini itu palsu dan hanya semata-mata untuk mendapatkan apa yang dia inginkan seperti popularitas dan lain-lain.

Latar tempat yang diambil untuk cerita dari novel ini adalah Gutshot, Tennesse, dimana mereka akhirnya berhenti atau sampai dimakam Archduke Ferdinanx, karena menemukan sebuah tanda. Novel ini juga mengambil latar di sebuah rumah, pabrik, hutan, dan beberapa tempat lainnya yang menurut saya membuat cerita tersebut lebih fresh karena jujur saja, saya sedikit bosan dengan cerita remaja yang berlatarkan sekolah. Aku juga dapat belajar dan tahu seperti apa Tennessee itu.

Buku ini mempunyai banyak sekali footnote jadi untuk para pembacanya harus sabar. Kelemahan dari buku An Abundance of Katherines adalah buku ini melibatkan cukup banyak grafik kartesius dan juga rumus matematika yang membuat pusing pembacanya. Tapi justru, kelemahan inilah yang menjadi kelebihan dari novel itu sendiri. Hal tersebut membuat novel ini menjadi spesial dan unik, seperti mempunyai ciri khas sendiri. Ditambah dengan beberapa kepribadian dan juga pemikiran John Green yang dituangkan melalui karakternya. Mungkin satu kata yang dapat menggambarkan buku ini adalah Jenius. yang ngebuat buku ini spesial.