Kembali
ke Basecamp.
www.pixabay.com |
“Basecampmu adalah rumahmu.” Sepenggal
kata yang diucapkan belum lama ini kepadaku, mungkin sekitar seminggu yang
lalu. Tapi aku yakin akan membekas di hatiku selamanya. Kata yang mengandung
makna yang dalam, kata yang mengubah pandanganku mengenai rumah tempatku
tinggal bersama keluargaku.Semua ini berawal dari ulahku, yang hanyut oleh
emosi tanpa berpikir panjang.
Aku
memang sosok yang introvert, cuek,
tidak ingin terikat peraturan, dan egois. Aku punya seorang adik, jujur saja Ia
anak yang baik, menyenangkan, dan sering membantuku. Entah mengapa, aku membenci
dia. Mungkin karena ayah dan ibu lebih memperhatikannya. Semenjak bapak sering
dinas ke luar negeri dan ibu sibuk dengan para pasiennya, mereka seakan-akan
menggantungkan nasib adikku ke aku. “Kak, adek dijaga ya, jangan dinakalin.”
Kata-kata yang membuatku bosan, yang diulang-ulang tiap kali seperti kaset
rusak. Awalnya tugasku ini terasa ringan, karena hanya sekali seminggu. Tapi,
semenjak jam terbang ayah dan ibu naik, semua berubah. Aku seakan-akan jadi
pelayan adikku sendiri di rumah. Belum lagi ditambah mengerjakan pekerjaan
rumah yang menumpuk, ditambah lagi mencuci
mobil. Mungkin aku bukan pelayan lagi. Aku sudah jadi babu.
Keadaan
di rumah yang membuatku lelah berpengaruh pada kepribadianku di sekolah.Aku
menjadi anak yang emosional dan pemalas.Hampir setiap teman yang mengajakku
bicara kusemprot dengan kata-kata pedas, seperti yang kulakukan ke adikku.
Sejak aku emosional, makin banyak teman yang menjauhiku, nafsu belajarku pun
menurun drastis bagaikan permainanflying-fox.Semakin banyak guru-guru yang
membicarakanku karena prestasiku menurun.
Seiring berjalannya waktu, aku
merasa hancur lebur. Aku merasa kesepian, tidak ada lagi yang bisa memahamiku
dan aku merasa aku ingin membentuk kepribadianku yang baru. Perasaan inilah yang
mendasari rencanaku kabur dari rumah. Keesokan harinya, tepat pukul lima,
sebelum alarm handphone adikku berbunyi, aku bergegas meninggalkan rumah tanpa
sepengetahuan adikku. Untungnya, semua perlengkapanku sudah kusiapkan malam
harinya. Jadi, aku bisa pergi lebih awal.
Pagi itu, aku berencana untuk tidak
lagi kembali ke rumah, aku ingin merasakan hidup di jalanan. Tempat dimana aku
bisa mencari pribadiku yang baru, teman-temanku yang baru. Matahari mulai
menampakkan dirinya, aku pun bersemangat untuk memulai penjelajahanku hari itu. Sering
kujumpai anak punk yang tidak karuan, dari yang seumuranku sampai yang lebih
tua dariku. Mereka memang tidak sekolah, tapi aku heran mengapa mereka bisa
sebahagia itu. Salah satu dari mereka bernama Ujang. Satu-satunya temanku di
jalanan yang mau berteman denganku, karena yang lain menganggapku anak kecil.
“Kalo gue bisa sekolah mah, gue mau. Sayang bapak gue gapunya duit, udah cerai
pula. Habis itu, gue dibuang sama bapak gue. Makanya hidup gue berantakan. Tapi
saya mah seneng-seneng aja, kadang dapet duit kadang minum-minumsama
temen-temen. Elu yang masih untung, mending balik ke rumah dah, kaga ada guna
di jalanan.” Itulah beberapa kata yang Ujang ucapkan kepadaku setelah aku menanyakan
beberapa hal tentang dirinya. Sore harinya, aku pergi meninggalkan mereka,
mencari tempat yang baru.
Tak
terasa hari sudah mulai gelap.Aku harus mencari tempat beristirahat. Setelah
sekian jam, akhirnya aku melihat sebuah pos ronda yang sudah tidak dipakai lagi.
Ketika aku masuk, aku terkejut melihat anak kecil yang meringkuk di pojok pos
ronda sambil menangis. Namanya Supri. Sudah dua hari ini pengamen kecil ini
tidak bisa berjalan.Tubuhnya menggigil karena demam. Kekagetanku bertambah
setelah melihat lebam pipi sebelah kirinya. Ternyata, lebam itu akibat tonjokan
“boss” nya yang tidak puas dengan perolehannya hari itu. Ia dianggap malas
karena setorannya paling sedikit dibanding teman-temannya. Padahal, dengan kondisinya
yang sakit, ia tidak bisa selincah teman-temannya menyelip di antara mobil-mobil
yang berhenti saat lampu merah.
Tiba-tiba
aku teringat adikku. Aku bertanya-tanya dalam hati, bagaimana keadaannya. Apakah
ia kesepian? Apakah ia sedih? Apakah ia merindukanku? Aku tersentak dari
lamunanku ketika aku mendengar rintihan Supri. Aku segera beranjak menyusuri
jalanan yang mulai lengang untuk membeli makanan dan obat untuk Supri. Dua hari
sudah aku tinggal bersamanya. Merawatnya semampuku, sampai kondisinya membaik. Dan
dia bisa mengamen kembali bersama teman-temannya.
Penjelajahanku
di jalanan masih berlanjut. Pada suatu malam, aku berhenti di sebuah rumah
makan, duduk di terasnya bersama beberapa pengamen. Dari kejauhan, nampak sebuah keluarga yang sedang menyantap
makan malamnya. Pemandangan indah itu mengingatkanku akan keluargaku. Lamunanku
kembali tersentak mendengar derap kaki orang berlari dan teriakan menuju ke
arahku. Spontan, aku dan beberapa pengamen yang duduk bersamaku ikut
berlari. Rupanya, malam itu sedang diadakan razia besar-besaran oleh Satpol PP. Kami
berlari menyelamatkan diri. Salah satu dari mereka menarikku ke arah sebuah
gerobak dagangan di jalan buntu yang ditinggalkan pemiliknya saat malam hari. Di
tempat persembunyian itu, jantungku berdetak kencang seakan-akan aku bisa
mendengar detakannya. Aku bahkan nyaris menahan nafasku ketika petugas Satpol PP
mendekat. Aku tidak bisa membayangkan diriku bila jatuh ke tangan mereka. Aku
tidak mau menderita di panti rehabilitasi bersama anak jalanan yang lain. Lama
kelamaan, derap kaki para petugas sudah sayup terdengar, tanda bahwa mereka
sudah menjauh dari tempat persembunyianku. Akhirnya aku bisa keluar dengan
lega, aku berterima kasih kepada salah satu pengamen yang menyelamatkanku
tadi. Aku bersyukur bisa selamat dari razia, namun entah mengapa tiba-tiba saja
aku juga merasa sangat rapuh. Rapuh, kesepian, bimbang, tanpa keberadaan orang-orang yang kukasihi.
Uang jajanku lama kelamaan
habis. Aku kelaparan, tidak ada yang bisa kubeli. Tak terasa sudah satu minggu
aku kabur dari rumah, aku sudah merasakan pahitnya hidup di jalanan. Aku ingin
kembali ke rumah. Aku lalu bergegas menuju ke rumah. Di rumah aku disambut oleh
kedua orangtuaku. Aku langsung dipeluk dan dicium. Mereka lega bisa melihatku
masih dalam keadaan sehat dan utuh. Kemudian mereka bertanya mengapa aku kabur.
Hampir satu jam lebih aku menjelaskan tentang alasanku dan apa sebenarnya yang
ada di lubuk hatiku. Setelah mendengar penjelasanku, orangtuaku tidak
memarahiku tetapi mereka justru memberi nasihat. Pada intinya aku perlu menjadi
orang yang terbuka, peduli dengan orang lain seperti peduli pada adikku, peka
terhadap keadaan sekitar seperti halnya aku harus mengerjakan pekerjaan rumah
karena bapak atau ibu sibuk, dan sebagainya. Tapi ada satu nasihat yang tidak
akan kulupakan, yaitu nasihat dari bapakku. “Jalanan itu bukan tempatmu
membentuk kepribadian, apalagi mencari teman. Kamu anak yang dibesarkan dengan
kasih sayang dan kecukupan. Kamu anak yang disekolahkan dengan baik, dan
pastinya punya teman-teman yang peduli padamu. Dan ingat, tugas-tugasmu di rumah
sengaja bapak dan ibu buat. Kami ingin mengubah kepribadianmu. Mungkin terlihat
sepele semua pekerjaan rumahmu. Tapi ini adalah salah satu cara untuk menjadikanmu
pribadi yang peduli dan bertanggungjawab.
Basecampmu adalah rumahmu, tempat dimana kamu ditempa menjadi orang yang
baik sebelum kamu terjun ke dunia nyata.” Mendengar nasihatnya, aku hanya bisa mengangguk-angguk
dan merenung. Semoga aku bisa berproses dengan baik di basecampku ini.